Nasional

Presiden Prabowo, Demonstrasi & Pepatah “Air Tenang Jangan Dibikin Badai”

ist

KALAU bicara soal demonstrasi di Jakarta, itu mirip kayak pesta kawinan kampung, ada yang datang benar-benar ingin kasih doa restu, ada juga yang datang sekadar numpang makan, dan ada pula yang tiba-tiba joget di depan panggung sampai bikin gaduh. Nah, di momen inilah Presiden Prabowo buka suara, dengan gaya yang agak serius tapi tetap tegas.

Beliau bilang, kebebasan berpendapat itu dijamin, bahkan sampai dicatat manis di Pasal 19 Kovenan Internasional PBB dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Intinya, rakyat boleh bicara, boleh teriak, bahkan boleh bikin spanduk sepanjang jalan protokol asal jangan merusak lampu merah. Soalnya, kalau lampu merah rusak, yang pusing bukan cuma polisi lalu lintas, tapi juga tukang ojek online yang lagi ngejar orderan.

Prabowo juga mengingatkan, tindakan anarkis yang bikin fasilitas umum terbakar itu ibarat orang bikin hajatan tapi malah bakar kursi sendiri. Katanya mau bahagia, tapi ujung-ujungnya bikin rugi tetangga. Pepatah bilang, “Api kecil jadi kawan, api besar jadi lawan.” Demonstrasi itu boleh panas, tapi jangan sampai kebakaran.

Negara, kata Prabowo, wajib melindungi rakyat, jadi jangan sampai rakyat jadi korban karena aksi yang kelewat batas. Polisi pun diminta tetap menjaga fasilitas umum, bukan malah ikut “ngegas” macam komentator sepak bola.

Yang bikin menarik, Presiden juga menyinggung soal petugas yang mungkin salah langkah. Kata beliau, kalau ada aparat yang kebablasan, ya harus diperiksa cepat, transparan, dan terbuka. Biar rakyat tahu, biar publik percaya, karena, seperti pepatah Jawa, “Becik ketitik, ala ketara”, kalau salah, ya kelihatan kalau benar, makin dipercaya.

Ini ibarat wasit sepak bola. Kalau wasit salah kasih kartu merah, ya harus ada VAR, bedanya, VAR di sini bukan “Video Assistant Referee”, tapi “Verifikasi Aparat Rakyat”

Nah, bagian paling lucu, Prabowo juga menyinggung soal anggota DPR yang kelewat nyeleneh bikin pernyataan di publik. Katanya, para Ketua Umum Partai sudah ambil langkah tegas. Ada yang dicabut tunjangan, ada moratorium kunjungan kerja ke luar negeri. Wah, kasihan juga. Biasanya ke luar negeri bisa foto di depan Menara Eiffel, sekarang paling banter selfie di depan Monas.

Peribahasa lama bilang, “Mulutmu harimaumu” kalau ngomong sembarangan, ya siap-siap diterkam netizen yang lebih galak daripada singa Afrika.

Presiden Prabowo juga meminta DPR segera undang tokoh masyarakat, mahasiswa, dan kelompok lain buat duduk bareng. Biar semua suara bisa masuk, nggak sekadar adu balap teriak di jalan.

Kalau dipikir-pikir, ini mirip forum rembug desa. Semua orang boleh ngomong, dari yang tua sampai yang muda, dari yang paham sampai yang sotoy. Tapi tetap ada aturan main, biar musyawarah nggak berubah jadi lomba adu volume suara.

Dari pidato semalam itu, ada pesan moral yang bisa kita simpan di dompet pikiran. Demonstrasi itu sah, tapi jangan kebablasan. Pemerintah wajib terbuka, tapi rakyat juga wajib tertib. Jangan sampai kebebasan jadi alasan merusak, dan jangan pula ketegasan jadi dalih menutup telinga.

Pepatah bilang, Air jernih jangan dikotori”. Kalau demo niatnya murni, jangan sampai tercoreng ulah segelintir yang suka bakar ban. Kalau aparat niatnya jaga keamanan, jangan sampai rusak gara-gara satu dua orang kebablasan.

Pada akhirnya, negara ini bukan panggung dagelan, meski kadang kelakuan pejabat dan rakyatnya bisa bikin kita ketawa sendiri. Demonstrasi memang bagian dari demokrasi, tapi jangan sampai berubah jadi drama Korea yang kebanyakan episode.

Presiden Prabowo sudah kasih sinyal, kebebasan dihormati, anarkis dilarang, aparat diawasi, DPR ditegur, rakyat diajak dialog. Tinggal kita semua, mau jadi bagian dari solusi atau sekadar komentator di pinggir lapangan.

Karena, seperti pepatah Minang, “Alam takambang jadi guru”, kalau kita mau belajar, semua peristiwa bisa jadi pelajaran. Termasuk demo kemarin, yang harusnya jadi cermin suara rakyat jangan diabaikan, tapi juga jangan dijadikan alasan bikin rusuh.[***]

Terpopuler

To Top