Nasional

Bangkit Itu Seperti Nasi Harus Matang, Bukan Sekadar Hangat

komdigi

Sumselterkini.co.id, – Di bawah rindangnya pohon-pohon tua Taman Makam Pahlawan Kalibata, pagi Meutya Hafid berdiri, bukan untuk selfie atau konten media sosial, tapi untuk menyampaikan sesuatu yang lebih berat dari utang cicilan motor, yakni semangat Kebangkitan Nasional ke-117.

Ya, 117 tahun, Bung! Umur segitu kalau manusia, udah pasti pensiun, ubanan, dan mungkin udah ikut senam jari tiap pagi. Tapi kalau bangsa? Justru harus makin melek, makin sigap, dan jangan baperan kalau dikritik karena seperti kata pepatah lama “Kalau sudah bangkit, jangan tidur lagi.”

Dalam pidatonya, Meutya bukan cuma menyapa langit Jakarta Selatan yang mendung-mendung manja itu, tapi juga menyiram semangat nasional dengan pupuk bernama Asta Cita.

Delapan misi besar ala pemerintahan Prabowo-Gibran, yang katanya bukan sekadar daftar keinginan, seperti keranjang belanja online, tapi benar-benar dijalankan. Contohnya?

Coba bayangkan ini 82,9 juta orang mau dikasih makan bergizi. Itu kayak ngundang satu Indonesia ke hajatan dan masaknya mesti sehat semua, bukan sekadar nasi kotak plus kerupuk melempem.

Belum lagi layanan kesehatan digital, AI Centre di Papua, dan layanan pemeriksaan gratis. Ini kayak negara ngajak rakyatnya “healing” tapi versi bermanfaat bukan ke puncak, tapi ke puskesmas canggih.

Kebangkitan nasional, kata Meutya, bukan sekadar peringatan tahunan yang diisi upacara sambil mikirin nasi uduk di warung depan. Ini soal sadar, soal “ndekem” bareng hadapi zaman yang makin ga jelas arahnya dari disrupsi teknologi sampai kedaulatan digital yang terancam. Dulu kita takut Belanda, sekarang takut dicuri datanya sama akun bodong dari ujung dunia.

Dan di tengah semua itu, Indonesia masih coba berdiri tenang seperti ibu-ibu yang tetap masak nasi goreng meski harga cabai naik, bangsa ini tetap jalan walau badai globalisasi makin kencang.

“Bangkit bersama wujudkan Indonesia kuat,” katanya, bukan sekadar slogan di spanduk, tapi ajakan supaya kita berhenti jadi penonton di negeri sendiri.

Ada satu kalimat Meutya yang bikin merenung, tapi juga bikin senyum. “Kami percaya kebangkitan yang besar justru dibangun dari fondasi-fondasi yang sederhana, dari kehidupan yang tenang, dari perut yang terisi, dan hati yang lapang.”

Lho iya, masa’ mau bangkit tapi lapar? Perut keroncongan itu musuh produktivitas. Makanya, kebijakan pun jangan cuma tinggi di langit kayak cita-cita anak SD, tapi harus bisa dipetik, seperti mangga depan rumah real, manis, dan bisa dimakan bareng.

Upacara ini diakhiri dengan ziarah dan tabur bunga. Bukan sekadar ritual, tapi pengingat bahwa kebangkitan hari ini berdiri di atas pengorbanan mereka yang dulu tak sempat selfie, tapi berani mati demi negeri. Mereka yang menanam, dan kita yang menuai.

Bangkit itu seperti masak nasi butuh air yang pas, api yang stabil, dan kesabaran. Kalau buru-buru, bisa gosong. Kalau kelamaan, bisa jadi bubur. Tapi kalau matang, semua orang bisa kenyang dan bersyukur.

Dan hari ini, di tengah tantangan yang makin canggih dan kadang absurd, mari kita jaga semangat kebangkitan ini. Bukan cuma dengan tepuk tangan saat upacara, tapi dengan langkah nyata, dari dapur sampai data.

Karena seperti kata orang tua “Bangsa besar itu bukan yang paling banyak bicara, tapi yang paling tahan kerja dan tak gampang lupa sejarah.”.[***]

Terpopuler

To Top