DI negeri tempat angin laut lebih setia daripada janji-janji kampanye, muncul sebuah film dokumenter berjudul The Atlantis Mussels, sebuah karya yang sukses membuat Wakil Menteri Ekraf Irene Umar berkaca-kaca, bukan karena efek AC Museum Bahari, tapi karena terharu melihat kerang bisa bicara tentang perubahan iklim lebih lantang daripada rapat kabinet.
Bayangkan, di saat sebagian dari kita masih sibuk meributkan siapa yang lebih cepat viral antara TikTok dan toples lebaran, film ini malah sukses melenggang ke Cannes Film Festival 2024. Ya, Cannes, saudara-saudara! Tempat di mana sutradara kelas dunia berdesakan dengan jurnalis, dan satu langkah keliru bisa membuat sepatu hak tinggi tersandung karpet merah sejarah.
Senada Films, rumah produksi yang dikelola oleh alumni UMN, seakan-akan berkata “Jika Jakarta perlahan tenggelam, maka biarlah karya kami yang mengapung dan membuka mata dunia”. Dan benar saja, dengan layar tancap ala kampung, mereka mengajak penonton menyelam bukan sekadar ke dasar laut, tapi ke dalam hati nurani.
Film ini tidak sekadar bicara soal kerang. Ia bicara soal kehidupan. Tentang nelayan Kampung Kerang Hijau yang tak lagi tahu apakah air pasang datang karena bulan atau karena perubahan iklim yang makin tak tahu diri.
Dalam film itu, kerang mungkin diam. Tapi diam-diam, ia menyuarakan jeritan para pesisir. Semacam bentuk “pasif-agresif” ekologis, kalau kata anak indie. Kita tahu, ketika laut mulai naik pitam, itu bukan hanya urusan pinggir pantai. Itu urusan seluruh peradaban.
Ada pepatah lama, “Air tenang menghanyutkan”. Tapi di Jakarta, air tenang bisa jadi sinyal tsunami kebijakan yang telat dibuat.
Film ini menampar kita dengan lemah lembut, seperti emak-emak di warung suara pelan, tapi sarat makna, dan lucunya, tamparan itu membuat kita mikir, kok bisa ya, isu lingkungan jadi lebih seksi setelah diangkat lewat dokumenter?. Mungkin karena beda dengan berita di TV, film dokumenter bisa bikin kita nonton sambil nyengir, bukan nyindir.
Wamen Ekraf Irene Umar bahkan mengatakan, “Let’s continue to make good movies…” Sebuah ajakan yang terdengar seperti puisi, tapi sesungguhnya adalah ajakan perang -perang melawan kebijakan yang lambat tanggap terhadap perubahan iklim.
Kalau biasanya film pendek hanya jadi pelengkap daftar pemutaran, The Atlantis Mussels justru tampil sebagai pembuka pikiran.
Dengan durasi pendek, ia melompati batas-batas geografis dan mentalitas. Diperkuat dukungan dari Indonesia Heritage Agency (IHA), serta program Bahari On Screen dari Museum Bahari, film ini mematahkan anggapan bahwa anak muda hanya bisa buat konten dance di Instagram. Ternyata, mereka bisa bikin Cannes terdiam.
Sebagaimana kata Azyd Aqsha Madani, produser film ini “Saya ingin film ini menjadi awareness dan memengaruhi para pemimpin sebagai policy makers”
Sebuah keinginan yang mungkin terdengar utopis, tapi hei bukankah utopia itu tempat tujuan setiap film dokumenter yang baik?
Kalau kerang bisa membentuk mutiara dari luka, maka manusia juga bisa membentuk perubahan dari kesadaran. Dari layar tancap ke layar Cannes, dari kampung ke konferensi iklim, film ini menyampaikan satu pesan penting “Perubahan iklim bukan isu lingkungan, ini isu peradaban”
Dan seperti kata kakek saya yang dulu suka mancing di rawa-rawa yang kini sudah jadi perumahan elit “Kalau laut sudah tak bisa dipercaya, jangan-jangan kita yang terlalu lama mempermainkannya”
The Atlantis Mussels bukan hanya sebuah film pendek. Ia adalah kartu undangan bagi kita semua untuk berpikir panjang.
Ia adalah kentongan digital yang membangunkan kita dari tidur panjang kesadaran ekologis. Jika selama ini kita mengira perubahan iklim hanya terjadi di kutub utara dan film Hollywood, maka film ini memberi tahu kita perubahan itu sudah tiba di dapur, di tambak, di kampung kita sendiri.
Maka, seperti kata bijak para editor film dokumenter “Potonglah yang tak penting, perjelas yang bermakna”. Begitulah seharusnya kita menyusun kebijakan bukan penuh adegan drama, tapi sarat dengan pesan nyata.
Salam dari kampung kerang yang sedang berjuang, semoga bukan kita yang nanti tenggelam, tapi kesombongan kita terhadap alam.[***]
Catatan Kaki:
Kalau Anda tak sempat nonton The Atlantis Mussels, minimal sempatlah untuk berpikir—berapa lama lagi kita bisa bertahan sebelum laut menyapu seluruh pepatah?