Sumselterkini.co.id, – Di balik sorak-sorai penggemar Day6 di Senayan akhir pekan lalu, ada satu fakta yang tak bisa disapu bawah karpet penyelenggaraan konser di negeri ini kadang seperti kawin campur antara semangat internasional dan tata kelola yang masih ala kadarnya macam pengantenan mewah di gedung tapi kateringnya pesanan tetangga.
Konser Day6 memang sukses secara visual lampu gemerlap, panggung megah, dan histeria fans sampai ke ubun-ubun. Tapi di belakang panggung, bisik-bisik beredar lebih kencang dari suara sound system antrean panjang, gate yang mendadak macet, dan sinyal komunikasi yang lebih lemah dari sinyal cinta mantan. Laporan demi laporan pun mampir ke meja Kementerian Pariwisata, seperti laporan warga soal ayam tetangga yang berkokok dini hari.
Menteri Pariwisata, Ibu Widiyanti Putri Wardhana yang dalam banyak hal ibarat dirigen orkestra pariwisata langsung gerak cepat. Dalam keterangannya, beliau mengingatkan pentingnya ekosistem event yang baik, karena event itu bukan sekadar joget-joget, tapi penggerak ekonomi. Ibarat kuali besar, event mendidihkan banyak bahan pergerakan wisatawan, penyerapan tenaga kerja, sampai promosi nama bangsa. Sayang, kalau kualinya bocor, sayur lodehnya jadi gak matang-matang.
Maka Mecima Pro selaku promotor dipanggil. Bersama Kementerian Ekonomi Kreatif dan Asosiasi Promotor Musik Indonesia, mereka diajak duduk bareng. Bukan untuk diaudit habis-habisan, tapi buat nyari tahu masalahnya ada di mana, dan bagaimana cara memperbaikinya. Ibarat tukang tambal ban, yang dibutuhin bukan caci-maki, tapi cari bocor dan cari solusi.
Deputi Event Kemenpar, Vinsensius Jemadu yang kalau bicara seperti guru kesenian yang sabar menjelaskan bahwa Kemenpar berkomitmen jadi ‘guru les’ buat pelaku industri konser.
Asanya, Indonesia bisa punya ekosistem event sekelas Seoul, Tokyo, atau bahkan Barcelona, yang kalau bikin konser, penonton bisa datang sambil ngopi, bukan sambil marah-marah.
Ambil contoh Jepang kalau mereka bikin konser di Tokyo Dome, tiket bisa dibeli seperti beli tiket Shinkansen teratur, akurat, dan gak ada calo. Atau di Seoul, tempat konser disertai transportasi publik yang sampai ke tempat acara dan petunjuk yang jelas kayak Google Maps. Bahkan di Melbourne, konser musik jadi ajang wisata kota, ada paket tur, ada festival makanan, sampai toilet portabel yang wangi macam parfum.
Lalu, kita di sini? Kadang masih ribut urusan scan barcode. Kadang pula promotor dan fans seperti pasangan LDR yang gak pernah saling ngerti satu butuh kejelasan, yang lain sibuk menyelamatkan margin keuntungan.
Pepatah bilang, “Bagus panggung jangan lupa lampunya, bagus konser jangan lupa urusannya.”
Kalau mau industri pertunjukan kita naik kelas, maka semua pihak mesti latihan bareng. Promotor jangan cuma jago datengin artis, tapi juga ngerti tata kelola. Pemerintah jangan cuma jadi komentator, tapi juga fasilitator. Dan fans, ya jangan cuma nge-zoom fancam, tapi juga ikut menjaga ketertiban.
Sebab dalam industri event, kita semua bagian dari orkestra besar. Dan agar lagu pariwisata ini merdu, tak cukup satu biola. Butuh konduktor yang paham tempo, dan pemain yang paham partitur.
Kalau tidak, ya siap-siap aja konser internasional bisa terus datang, tapi reputasi kita tetap lokal rasa lokal macam nasi goreng di pinggir jalan yang dibungkus daun pisang, tapi dimakan di galeri seni. Mau begitu terus? Atau kita mulai belajar dari panggung dunia?.[***]