Sumselterkini.co.id, -Suasana di Plaza Senayan baru -baru ini mendadak kayak pesta pernikahan anak keraton penuh senyum, sorot lampu, dan tentu saja orang-orang penting berdatangan dengan wajah bahagia level dapat undangan gala dinner, bukan undangan nyicil kulkas. Di tengah gegap gempita itu, muncullah film Gowok, karya Hanung Bramantyo, yang sukses menyulap warisan budaya Jawa jadi tontonan yang bukan cuma bikin melek budaya, tapi juga melek hati nurani.
Yang datang pun bukan orang sembarangan. Ada Wamen Ekraf Irene Umar yang senyumnya setajam kritik netizen, Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang tampil semangat kayak mau lomba baca puisi, Yovie Widianto yang tukar piano dengan popcorn, dan Ario Bayu yang setia dengan tatapan tajam-tajam ngademin. Semua ngumpul demi satu hal menyaksikan Gowok film yang kalau disimak baik-baik, bisa bikin kita sadar bahwa budaya itu bukan barang antik, tapi aset masa depan.
Gowok itu ibarat nasi liwet tampil sederhana, tapi gurihnya merasuk ke jiwa. Film ini ngangkat tradisi gowokan Jawa, yang selama ini cuma dibisikkan dari mulut ke kuping seperti rahasia nenek tentang ramuan awet muda. Tapi Hanung, alih-alih menyembunyikan, justru nyorot tradisi itu pakai lampu sorot seterang tagihan listrik kos-kosan akhir bulan.
Bukan buat sensasi, tapi buat edukasi. Karena Gowok bukan cuma cerita tentang masa lalu, tapi juga refleksi zaman sekarang tentang relasi, tubuh, peran perempuan, dan budaya yang sebetulnya kaya raya tapi sering disepelekan. Kalau budaya itu pohon, Gowok adalah orang yang rela nyiram tiap hari walau nggak masuk InstaStory.
Coba deh tengok negara tetangga, Korea Selatan udah ekspor budaya lewat film dan drakor sampai bikin anak muda lebih lancar ngomong oppa daripada Pak RT. Film Parasite bahkan bikin sejarah di Oscar. India? Jangan ditanya. RRR sampe Gully Boy udah mendunia, meski penontonnya nggak ngerti semua dialognya. Bahkan Bhutan, negara yang lebih kecil dari Jawa Timur, bisa bikin film Lunana: A Yak in the Classroom dan dapet nominasi Oscar. Mereka jualan cerita lokal, kita? Masih sibuk debat, “Ending-nya perlu plot twist atau nggak, ya?”
Padahal kita punya segudang kisah yang bisa disulap jadi film dari legenda Si Pahit Lidah di Sumsel sampai drama kolosal rebutan tanah warisan di kampung semua tinggal dikemas. Tapi kalau semua sibuk nunggu biar viral dulu baru dibuat film, ya selamanya kita cuma jadi penonton di festival orang.
Wamen Irene Umar dan Menteri Fadli Zon udah kasih kode keras film lokal ini bisa jadi tambang emas budaya, asal didukung. Tapi jangan dukungan level like and share doang. Kita butuh lebih pembinaan buat sineas daerah, insentif pajak buat produser nekat, dan promosi yang nggak kalah dari promo odol di bulan puasa.
Bayangin kalau tiap daerah bikin satu film lokal per tahun. Bisa ada Avengers-nya Indonesia bukan pahlawan berkostum, tapi pahlawan budaya yang berjuang lewat layar. Bioskop pun bukan cuma tempat nonton horor berisi suara bisikan dan hantu joget, tapi jadi panggung besar budaya.
Karena kalau film lokal hanya jadi pelengkap layar, ya kita selamanya cuma jadi penonton kehormatan di negeri sendiri.
Gowok adalah gong budaya. Ia diketok keras bukan buat cari sensasi, tapi buat bangunin kita yang udah lama ketiduran di ranjang modernitas. Film ini ngajak kita mikir, Kalau bukan kita yang angkat budaya sendiri, masa harus nunggu Hollywood ngelirik dulu baru bangga?
Jangan biarkan budaya kita jadi kayak tanaman bonsai cantik tapi disimpan di pojokan. Saatnya dibawa ke panggung besar. Ke layar lebar. Ke dunia!
Seperti pepatah yang dimodifikasi ala anak bioskop “Yang menonton film lokal, sedang menanam pohon budaya. Tapi yang hanya menonton film luar, sedang beli benih orang lain”.
Kalau selama ini kita sibuk membanggakan film luar, mungkin sekarang saatnya tepuk tangan untuk film sendiri. Dan bukan cuma tepuk tangan, tapi juga beli tiket, ajak keluarga, ajak mantan kalau perlu biar sama-sama sadar bahwa budaya kita layak tampil di layar lebar, bukan cuma di lemari museum.
Karena seperti kata pepatah modifikasi “Yang tidak menonton film lokal, akan jadi penonton abadi di bioskop global”. Jika di kemudian hari film ini melanglang buana hingga Oscar atau Golden Globe, kita tak bisa lagi bilang, “Ah, itu mah kebetulan”. Karena sesungguhnya, kebetulan hanya datang pada yang bersungguh-sungguh. Dan Gowok adalah bukti, bahwa budaya yang dibungkus dengan cinta dan keberanian, akan selalu menemukan jalannya ke hati siapa pun di mana pun.
Mari kita tepuk tangan bukan hanya buat akting Ario Bayu, tapi juga buat Gowok, buat Hanung, buat seluruh tim produksi, dan buat bangsa ini yang semoga, makin sadar bahwa kekayaan budaya bukan buat dikenang, tapi buat dijual… dengan harga tinggi dan penuh cinta. Hidup budaya! Hidup film lokal! Dan hidup penonton yang mau beli tiket, bukan cuma nonton bajakan sambil makan kerupuk!. Bravo, Gowok. Tabuh terus gongnya. Biar dunia tahu budaya Indonesia bukan cerita yang selesai tapi baru dimulai.[***]