DULU, orang tua kita sering bilang “Jangan buang sampah sembarangan, nanti kena karma jadi bungkus nasi padang,”. Entah siapa penulis pepatah itu, tapi yang jelas, urusan sampah memang tak bisa cuma dibebankan ke pundak pemerintah saja. Kalau dibiarkan, negeri ini bukan lagi Indonesia Raya, tapi bisa-bisa jadi Indonesia Raya Daur Ulang!.
Itulah sebabnya Rapat Koordinasi Pengelolaan Sampah 2025 yang baru saja digelar di JCC, Jakarta, menjadi penting. Wakil Bupati Musi Banyuasin, Pak Rohman, pun datang tidak hanya untuk foto bareng latar belakang baliho, tapi untuk menyatakan komitmen. “Muba siap dukung target nasional pengurangan sampah 30% dan penanganan 70%”.
Namun kita tahu, dalam soal sampah, urusannya bukan hanya di ruang rapat, tapi juga di balik dapur rumah, di pojok warung kopi, di kantong plastik gorengan, bahkan di kepala kita. Ya, karena kadang yang harus dibersihkan bukan cuma lingkungan, tapi juga mindset.
Kalau kita jujur, siapa di antara kita yang masih mikir. “Buang aja di belakang rumah, kan nanti dibakar juga?” atau “Pakai plastik aja, kan gampang dibuang,” Nah, inilah mentalitas yang harus kita pungut dan buang ke tempat sampah sejarah.
Sampah adalah potret paling jujur dari kebudayaan kita, Di Jepang, anak TK sudah paham cara memilah sampah, di Jerman, bahkan tempat sampah pun punya perasaan ada yang khusus buat plastik, kertas, kaca, bahkan minyak goreng bekas dan tak terpakai. Di Korea Selatan, sisa makanan tak boleh lebih dari satu gigitan, kalau lebih, bisa didenda. Di Swedia, saking rajinnya mereka daur ulang, mereka kekurangan sampah dan harus impor dari Norwegia.
Bayangkan, Swedia kekurangan sampah!, sementara di beberapa kota Indonesia tumpukan sampah justru sudah mulai membentuk bukit dan bisa dijadikan destinasi wisata dadakan. Terkesan jadi “Bukit Plastik Berbisik”. he..he.
Yang perlu kita tekankan adalah, solusi itu tidak hanya muncul dari rakor dan rapat, tapi dari rumah-rumah, dari emak-emak yang mulai pakai tas belanja kain, dari bapak-bapak yang tidak asal buang bungkus rokok, dan dari anak-anak muda yang membuat konten daur ulang jadi tren TikTok.
Mahasiswa jangan cuma jago demo di kampus, tapi juga turun tangan sosialisasi ke masyarakat, siswa jangan cuma tahu lagu “Cinta Sampah”, tapi harus bisa bikin proyek 3R di sekolah. Masyarakat tak cukup hanya diedukasi, tapi juga diberi panggung untuk berinovasi. Kalau bisa bikin konten prank viral, kenapa tak bisa bikin konten edukasi pilah sampah?.
Renungkan coba, jangan sampai sampah jadi penghuni tetap di kampung, karena jangan malas mikir dan ogah berubah. Jika pemerintah sudah pasang strategi dari regulasi, teknologi PSEL, sampai penguatan infrastruktur, tapi rakyatnya masih suka buang popok bayi ke sungai, ya percuma, kita seperti orang main catur, tapi bidaknya mabuk.
Semua ini butuh kesadaran, bukan cuma dari segelintir orang, tapi dari kolektif bangsa, kalau kita mau Indonesia bebas sampah, kita harus mulai dari kepala bukan dari tempat sampah duluan. Karena kepala yang bersih akan menciptakan lingkungan yang bersih.
Sadarlah, belajarlah juga dari negara lain, seperti Tokyo, Jepang, yang punya sistem pemilahan sampah 12 kategori, dan warga yang rela bawa pulang sampahnya kalau tak menemukan tempat sampah umum. Stockholm, Swedia, mengolah sampah menjadi listrik hingga 99% tidak masuk TPA. Seoul, Korea Selatan punya bank sampah digital dan sistem RFID untuk mengawasi sampah rumah tangga, dan terakhir Freiburg, Jerman bahkan bisa menjadikan pengolahan sampah bagian dari pendidikan anak usia dini, keren bukan inovasinya?, masak kalah!?.
Sampah itu sebenarnya bukan kutukan, tapi bisa jadi berkah, kalau kita sadar, asal dikelola dengan akal dan niat baik, seperti kata pepatah modern. “Sampahmu adalah tanggung jawabmu, bukan bahan status di Instagram”.
Ayo, rubahlah mentalitas dari “biarin aja” menjadi “ayo kita beresin”, jangan tunggu sampai sampah memberontak dan membentuk partai sendiri, ingat juga, kalau tak bisa jadi solusi, jangan malah nambah polusi.[***]