DI KAMPUNG kita, batuk panjang sering dianggap lebih berbahaya daripada gosip tetangga. Sekali “uhuk-uhuk”, orang bisa kabur seakan ada sirine bahaya. Apalagi kalau batuk itu ditempel label TBC. Lengkaplah sudah pasien jadi bulan-bulanan stigma, bukan cuma sakit badan, tapi juga sakit hati.
Namun Sabtu, 13 September 2025, suasana di RS Paru dr. Ario Wirawan (RSPAW) Salatiga berubah menjadi pesta harapan, sebanyak 14 pasien Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO) dinyatakan sembuh total dan menerima sertifikat kesembuhan. Diserahkan langsung di depan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Wali Kota Salatiga Robby Hernawan, momen itu bukan hanya formalitas seremonial, tapi juga tanda lahirnya babak baru dalam perang melawan TBC.
Sertifikat itu ibarat surat bebas tugas dari penjara stigma, pasien yang dulu dijauhi karena dianggap “penular bahaya” kini bisa berdiri tegak sambil bilang, “Saya sudah sembuh, aman buat nongkrong lagi, bro.”
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam keterangan pers di laman resmi kemkes.go.id, tak segan mengingatkan betapa seriusnya penyakit ini, angkanya bikin merinding 1.080.000 kasus baru per tahun dan 134.000 orang meninggal, hitungannya sadis, setiap lima menit, dua orang meninggal karena TBC.
Tapi masalah terbesar bukan hanya medis, TBC juga melahirkan stigma sosial, pasien dianggap kotor, berbahaya, dan dikucilkan. Padahal, stigma ini sering lebih menyakitkan daripada batuk itu sendiri.
Kalau pepatah bilang “air tenang menghanyutkan”, TBC ini bisa disebut “batuk panjang menjauhkan” orang menjauh bukan karena paham, tapi karena parno.
Dulu, pengobatan TBC RO seperti lari marathon tanpa finish line, obat harus diminum bertahun-tahun, efek samping bikin badan rasanya lebih merana, dan banyak pasien menyerah sebelum waktunya.
Kini, berkat rekomendasi WHO, Indonesia menggunakan regimen baru, yakni Bipal dan Bipal-M, terapi ini jauh lebih singkat dan efektif. Kata Menkes Budi, setelah 2–3 minggu minum obat, pasien sudah tidak menularkan lagi.
Ini lompatan besar, kalau dulu pasien harus hidup lama-lama dalam stigma “penyebar penyakit”, sekarang dalam waktu hitungan minggu, mereka bisa aman bagi lingkungan.
Efeknya berlapis, misalnya pasien bisa kembali berinteraksi sosial tanpa rasa malu, keluarga lebih tenang merawat, lingkungan tidak lagi melihat mereka sebagai ancaman.
Singkatnya, terapi baru ini seperti tol Trans-Jawa, jelas lebih cepat, lebih nyaman, dan bikin perjalanan sembuh lebih pasti.
Skeptis mungkin bilang, “Teori doang, buktinya mana?” Nah, bukti itu hadir langsung di Salatiga, 14 pasien TBC RO berusia 21 hingga 70 tahun berhasil sembuh setelah menjalani terapi singkat sesuai panduan WHO.
Mereka adalah bukti hidup bahwa TBC bukan vonis mati, pemuda 21 tahun kini bisa kembali kuliah tanpa harus menunduk malu, ayah 40-an bisa kembali bekerja, menafkahi keluarga tanpa tatapan curiga, lansia 70 tahun menunjukkan bahwa umur tidak pernah jadi halangan untuk sembuh.
Mereka seperti tim pahlawan lokal, bedanya, mereka tidak mengalahkan monster di layar kaca, tapi melawan bakteri bandel yang susah dibasmi obat. Dan kemenangan mereka bukan hanya pribadi, tapi juga inspirasi sosial TBC bisa dikalahkan!. Yang paling menarik dari acara itu bukan hanya pasien sembuh, tapi sertifikat kesembuhan yang diberikan.
Dokumen ini bukan kertas biasa, ia adalah tameng sosial, bayangkan pasien sudah sembuh, tapi masyarakat tetap menganggap mereka berbahaya, tentunya sertifikat inilah yang menjadi bukti, mereka sudah bebas dari risiko menularkan.
Dampaknya terasa langsung yakni pasien bisa kembali bekerja tanpa diskriminasi, anak-anak bisa sekolah tanpa rasa malu dan keluarga bisa hidup normal tanpa rasa takut.
Kalau pepatah bilang “tak kenal maka tak sayang” dalam kasus TBC sering kali jadi “tak tahu maka jadi parno”. Sertifikat kesembuhan menjembatani ketidaktahuan itu dengan bukti nyata, pasien sudah aman.
Isolasi ke inspirasi
Pasien sembuh ini sebenarnya bukan hanya survivor, mereka adalah duta kesadaran publik, dengan sertifikat di tangan, mereka bisa bicara langsung ke masyarakat TBC bukan aib, TBC bisa disembuhkan, pasien sembuh layak dihormati, bukan dijauhi.
RSPAW juga memainkan peran penting, rumah sakit ini tidak hanya merawat pasien, tapi juga membina 14 rumah sakit di Jawa Tengah dan 9 rumah sakit di Kalimantan Timur, mereka berbagi ilmu lewat visitasi, diskusi kasus sulit, hingga mentoring daring setiap hari.
Kalau diibaratkan, RSPAW itu coach sepak bola nasional yang melatih klub-klub daerah biar bisa menang melawan TBC di level nasional. Hasilnya? Ilmu medis menyebar, kualitas layanan naik, stigma berkurang.
Mari jujur, TBC masih berbahaya, angkanya tinggi, kematiannya nyata, dan maka dari itu, kita tidak boleh lengah. Tapi satu hal jelas TBC tidak lagi jadi hantu sosial yang membuat pasien harus sembunyi, minder, atau dikucilkan.
Kenapa?, karena kita punya tiga fondasi kuat pertama terapi singkat efektif, risiko penularan cepat turun, ke dua, ada bukti pasien sembuh dan masyarakat lihat hasil nyata dan tiga, sertifikat kesembuhan, alat resmi penghapus stigma. Dengan tiga dasar ini, TBC tetap penyakit serius, tapi bukan lagi sumber ketakutan sosial.
Kalau penyakit bisa menular lewat batuk, kesembuhan bisa menular lewat semangat dan harapan, pasien sembuh jadi bukti bahwa TBC bisa dikalahkan, dan cerita mereka menyebarkan optimisme ke orang lain.
Stigma justru lebih berbahaya dari bakteri, kalau bakteri bisa mati oleh obat, stigma hanya bisa hilang oleh pengetahuan, penerimaan, dan solidaritas.
Pepatah Jawa bilang, “Jer basuki mawa bea”, segala keberhasilan butuh pengorbanan. Kesembuhan pasien TBC adalah hasil dari disiplin minum obat, kesabaran, dan dukungan keluarga. Dan ketika mereka sembuh, yang kembali bukan hanya paru-paru sehat, tapi juga harga diri dan martabat.
Sertifikat kesembuhan TBC adalah tiket pulang ke kehidupan normal, ia tanda bahwa pasien bukan lagi “bom waktu berjalan”, melainkan pahlawan kecil yang berhasil menaklukkan penyakit menular paling bandel di negeri ini.
Jadi, kalau bertemu mereka, jangan lagi pasang wajah horor, berikan senyum, jabat tangan, dan bilang “Selamat, kamu sudah kembali ke hidupmu yang baru”
Pada akhirnya, kemenangan melawan TBC bukan hanya soal medis, tapi juga soal sosial, menang lawan penyakit, menang lawan stigma. Dan ketika stigma bisa dikalahkan, maka jalan menuju Indonesia bebas TBC 2030 bukan lagi mimpi.