Kebijakan

Sampahmu Menentukan Nasib Kotamu……

ist

ADIPURA itu, ibarat foto prewedding kota bersih, rapi, dan penuh senyum di taman, akan tetapi  jangan tanya belakang pasar, bisa jadi aromanya bikin bunga layu sebelum mekar. Sekarang? Adipura sudah ganti baju, pakai jas kebijakan, dasi sistemik, dan sepatu teknologi. Kalau dulu cukup bersihkan daun kering dan cat ulang trotoar, sekarang Adipura meminta kita membersihkan cara pikir.

Adipura baru ini bukan hadiah ulang tahun buat kota yang kelihatan kinclong di pusat, tapi lupa ada gunung sampah setinggi rumah di pinggiran. Ia bukan lagi lomba ‘kota paling wangi pas inspeksi’, melainkan cermin besar siapa yang serius buang sampah pada tempatnya dan siapa yang cuma buang anggaran tapi hasilnya nihil.

“Kota yang abai soal lingkungan, itu seperti orang kaya yang malas mandi mungkin punya semuanya, tapi tetap bau”- (Petuah ngawur tapi ngena dari Mbah Modin Kampung Hijau)

Kementerian Lingkungan Hidup dan BPLH kini mengatur ulang peta jalan Adipura. Bukan lagi soal taman dicat atau jalan disapu pas pagi doang. Tapi bagaimana sistem persampahan dikendalikan dengan cerdas, manusiawi, dan berdampak.

Komposisi penilaiannya pun sudah kayak resep rendang Padang yang serius 50% soal sistem pengelolaan sampah & kebersihan, 20% soal anggaran dan kebijakan daerah, 30% dari kesiapan SDM dan infrastruktur.

Jadi, kalau kota masih buang sampah sembarangan, lalu berharap dapat Adipura, itu seperti pengantin datang ke pelaminan pakai celana kolor—nggak niat tapi pengin dipuji.

Mari kita bicara soal 343 TPA yang masih pakai metode open dumping, itu lho, buang sampah ngasal di lapangan terbuka lalu dibiarkan begitu saja, seperti mantan yang sudah jelas bikin luka tapi masih dipeluk tiap malam.

Dalam skema Adipura sekarang, kota dengan sistem begini langsung dicoret dari daftar penghargaan. Ini bukan sekadar hukuman, tapi pelajaran, jika kita ingin maju, kita harus berani menutup bab usang dan membuka halaman baru bernama sanitary landfill. Lengkap dengan pengelolaan gas metan dan lindi, tentu. Jangan cuma bisa ‘lindi-lindi’ menolak tanggung jawab!.

Ada tiga kunci sukses Adipura baru kurangi sampah dari sumbernya. Ini bukan soal plastiknya disulap, tapi mindset warganya diubah.
“Barang siapa membuang sampah pada tempatnya, niscaya rezekinya tidak nyasar ke tempat tetangga,”- (Hadis lokal kampung kreatif).

Perkuat peran masyarakat, seperti  di Jepang, warga sudah terbiasa memilah 7 jenis sampah tiap pagi. Di kita? Masih ada yang nyampur popok bayi dengan sisa rendang seminggu lalu. Di Tokyo, jika salah buang sampah bisa kena tegur sopan. Di sini, yang salah malah bawa kardus alasan, bukan tanggung jawab.

Anggaran dan SDM, kalau masih menganggap petugas kebersihan sebagai pelengkap penderita, jangan mimpi dapat Adipura. Di Swedia, pengelolaan sampah jadi sumber energi, jadi lapangan kerja. Di kita? Sampah masih jadi bahan meme, bukan solusi energi.

“The greatest threat to our planet is the belief that someone else will save it”- Robert Swan, penjelajah kutub dan pegiat lingkungan

Artinya, kalau kita nungguin pemerintah doang sambil ngopi-ngopi sambil ngeluh soal bau sampah, ya jelas bau itu nggak bakal ilang. Kita semua harus turun tangan. Mulai dari tangan sendiri, bukan nunjuk tangan orang.

Adipura bukan piala buat dipajang waktu ada tamu dari provinsi. Tapi simbol bahwa kota ini punya otak, hati, dan tangan yang bekerja sama menjaga bumi. Kalau cuma bersih di pusat kota tapi pinggiran bau amonia, itu sama aja seperti mandi cuma di ketiak doang.

Maka, mari kita sambut Adipura baru dengan semangat baru membangun kota bukan cuma dengan semen dan cat, tapi dengan kesadaran dan komitmen. Biar nanti generasi cucu kita bisa main layangan tanpa takut kena plastik bekas pecel lele. “Karena masa depan bukan tempat buang sampah dari hari ini”.

Kalau ada yang tanya “Kota kita dapat Adipura gak, Pak?”
Jawab saja “Tergantung… apakah kita semua sudah berani buang ego ke tempatnya?”.[***]

Terpopuler

To Top