Sumselterkini.co.id, – “Kartini zaman now tuh, kalau berjuang bukan lagi pakai surat ke Belanda. Tapi pakai email, feed Instagram, dan aksi literasi digital. Serius!” ujar Naya sambil menyesap es kopi susu di lobi Kemkomdigi.
Ia mengenakan blazer warna lilac dan pin kecil bertuliskan “Cipayung Plus Squad”. Di sampingnya, Wiwik dari Kopri PMII tampak sibuk membetulkan hijabnya yang sedikit miring gara-gara semangat debat soal algoritma dan keamanan anak di ruang digital.
“Dulu Kartini nulis di surat. Kita nulisnya di caption panjang-panjang. Tapi isinya tetap memperjuangkan ruang aman buat perempuan dan anak. Bedanya, sekarang musuhnya bukan cuma patriarki, tapi juga akun anonim yang iseng ngirim DM gak sopan,” timpal Wiwik dengan mimik setengah kesel, setengah lucu.
Hari itu, di tengah lalu lintas Jakarta yang makin mirip benang kusut dililit headphone, sembilan perempuan muda dari organisasi besar yang namanya lebih panjang dari antrean skincare diskonan menghadap Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid.
Tapi ini bukan pertemuan biasa yang penuh basa-basi dan kopi pahit tanpa gula. Bukan juga ruang jumpa formal dengan kalimat klise macam “kami akan tindak lanjuti.”
Ini seperti dapur ide hangat, ramai, dan kadang meletup kayak popcorn.
Topiknya PP Tunas, sebuah regulasi baru seputar perlindungan anak di dunia digital. Tapi alih-alih dibaca sebagai dokumen hukum yang bikin ngantuk, PP ini dijadikan bahan diskusi segar layaknya resep masakan baru yang akan dicoba bareng.
“Aku tuh seneng banget pas Bu Menteri bilang, kita bisa kerja bareng. Bukan cuma pasang foto Kartini tiap April, tapi beneran turun ke lapangan. Ke sekolah, ke kampus, ke grup WA emak-emak,” kata Rani dari Sarinah GMNI.
“Betul, Rin,” sahut Lita dari IMM. “Literasi digital tuh kayak sabun cuci tangan. Kelihatannya sederhana, tapi kalau nggak ada, ya semua jadi rawan kotor. Hoaks merajalela, konten aneh-aneh berseliweran, dan anak-anak kita bisa ‘keracunan sinyal’ tanpa sadar.”
Anak-anak makin canggih buka aplikasi, tapi kadang belum cukup kuat pas harus menyaring konten. Perempuan makin vokal di medsos, tapi juga makin sering jadi sasaran kekerasan berbasis gender online (KBGO).
“Kita tuh kayak lagi main sepak bola, tapi lapangannya penuh ranjau,” celetuk Mela dari Hikmahbudhi.
“Betul. Dan sekarang kita harus jadi wasit, pelatih, sekaligus pemainnya,” tambah Siska dari PMKRI yang sejak tadi rajin nyatet poin penting pakai iPad mininya.
Tak mau berhenti di kata-kata manis, pertemuan itu menyulap idealisme jadi aksi. Ada rencana bikin pelatihan relawan literasi digital, penyuluhan ke sekolah, sampai buka kanal pelaporan KBGO yang gampang diakses.
Bu Meutya menyambut dengan senyum yang soft power banget. “Kami siap bantu fasilitasi. Kartini hari ini ya kalian semua. Dan ini bukan cuma urusan perempuan, tapi masa depan bangsa.”
Seketika ruangan itu terasa seperti panggung sejarah baru. Tapi kali ini bukan dengan lampu minyak dan surat kaligrafi, melainkan dengan WiFi stabil dan niat kolaborasi.
Kartini tidak pernah tahu apa itu TikTok, apalagi VPN. Tapi ia paham satu hal perjuangan perempuan harus terus relevan. Dan kini, relevansi itu hadir dalam bentuk keberanian perempuan muda masuk ke dunia digital dengan misi mulia membuatnya aman, sehat, dan suportif.
Kalau dulu perjuangan perempuan harus menembus tembok adat dan dominasi laki-laki, sekarang tembok itu bernama algoritma, filter bubble, dan hate speech. Tapi semangatnya sama jangan sampai generasi kita, apalagi anak-anak, tumbuh di ruang yang penuh toksisitas digital.
Kartini mungkin tak menyangka bahwa 145 tahun setelah ia lahir, akan ada sekelompok perempuan dengan hoodie bertuliskan “Sisters Online, Strong Offline” datang ke kantor kementerian.
Kartini masa kini bukan cuma duduk manis di ruang tamu sambil nonton sinetron. Dia bisa rapat di Zoom jam 10, edukasi literasi digital jam 12, dan lapor akun palsu jam 3 sore. Jangan sampai Kartini cuma jadi nama jalan macet atau patung yang dilirik waktu macet di lampu merah.
Sekarang, Kartini hidup di tiap jempol perempuan yang berani bersuara, dari story Instagram sampai forum RT. Perjuangannya? Sudah ganti format dari tulisan tangan ke Google Docs, tapi isinya masih sama bikin dunia lebih adil dan aman buat semua.
Namun semangatnya tetap emak-emak bisa jadi garda depan revolusi digital.[***]