Inspirasi

Di Balik Panti, Ada Revolusi Pangan

ist

PANTI sosial biasanya tak masuk daftar lokasi wisata, apalagi tempat studi banding buat urusan pangan, namun belakangan, satu panti di Palembang sukses bikin orang mengernyitkan dahi lalu tersenyum, bukan karena lelenya tak cuma berenang, tapi seolah bisa ngobrol, lalu ayam berkokok bukan sekadar alarm, tapi ada sinyal perubahan, bahkan menyimpan asa, karena ada revolusi kecil yang sedang berlangsung di halaman belakangnya.

Di antara kolam ikan dan kebun mini tersebut, lahirlah semangat baru dari panti  menuju mandiri dan panti?. Kini bukan sekadar tempat diam, tapi tempat menaman.

Selasa, 8 Juli 2025 lalu buktinya, Panti Sosial ODGJ Sako Palembang mendadak ramai bukan karena rebutan jatah makan siang atau datangnya tamu artis TikTok, tapi karena dilaunching-nya program Gerakan Sumsel Mandiri Pangan Menyapa Lingkungan Desa (G-SMP Menyapa) dan G-SMP Goes to Panti Sosial.

Acara ini dibuka langsung oleh Gubernur Sumsel, H. Herman Deru, yang tampaknya makin semangat mengubah panti dari tempat pasrah menjadi ladang harapan.

Ya, panti sekarang tidak cuma menerima bantuan, tapi mulai memproduksi pangan. Panti yang dulunya “mengharap sembako kiriman”, kini malah bisa kirim bayam dan gurame ke tetangga. Bayangkan, di balik pagar besi dan tembok tinggi itu, sedang terjadi gerakan senyap tapi pasti revolusi pangan berskala kolam terpal.

Pak Deru, dalam sambutannya, menyebut bahwa Sumsel ini ibarat toko pupuk raksasa yang kehabisan semangat menanam. Lahan subur luas, tapi mental kita kebanyakan nyubur ke pasar.

Padahal, kata beliau, dapur nggak harus menunggu diskon minimarket kalau tangan kita bisa langsung panen kangkung dari halaman.

“Mindset harus berubah,” kata beliau. Kalimat yang cocok dicetak di mug dan disebarkan ke semua kantor camat. Karena di negeri kita, terlalu banyak yang mikir “biar pemerintah aja yang urus”. Nah lho, kalau semua nungguin, bisa-bisa lele pun stres lalu mogok bertelur.

Yang bikin mata berkedip dua kali adalah kehadiran kolam ikan di lingkungan panti. Gurame berenang santai, lele bergerak lincah, dan patin menyeringai.

Di sisi lain, ayam-ayam juga mulai berkokok bukan untuk membangunkan, tapi menegaskan bahwa panti ini sudah bangun dari tidur panjangnya.

Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumsel, dibantu Bank Indonesia (yang biasanya sibuk urus inflasi lewat angka), kini turun ke lapangan beneran. Mereka bekerja sama dengan pihak ketiga bukan mak comblang, tapi PT Pusri dan Jakfa untuk menyalurkan ikan, bibit sayur, dan pelatihan.

Coba kalau kita renungkan sejenak, sekarang kebutuhan dapur di panti bisa dipenuhi dari pekarangan sendiri. Harga telur naik? Tenang, ayam dihalaman panti berkokok. Harga cabai gila-gilaan? Petik sendiri di belakang dapur. Ini bukan utopia, ini Sumsel mencoba mandiri.

Namun, meski program ini terdengar menjanjikan seperti menu katering minggu pertama, tetap ada catatan penting yang harus digarisbawahi dengan spidol merah.

Pertama, jangan sampai ini jadi proyek musiman, semangatnya cuma sampai tanggal lomba 17-an. Setelah itu, kangkung dibiarkan merana, lele jadi yatim piatu karena kolam kering. Kalau niat tanam, ya tanam terus, jangan setengah daun.

Kedua, perlu keberlanjutan dan pembinaan serius. Panti sosial bukan sekadar tempat tanam lalu ditinggal. Mereka butuh pendampingan, edukasi, dan sistem yang konsisten. Jangan cuma kirim bibit dan alat, lalu berdoa semoga panen melimpah. Itu mah kayak kasih ponsel ke kakek-nenek tanpa ngajarin cara buka WhatsApp.

Ketiga, gilir juga mindset di kantor-kantor. Kalau panti bisa menanam, kenapa kantor dinas, kelurahan, sampai kantor DPRD tidak bikin kebun kecil juga? Kan lumayan, sambil nunggu sidang paripurna, bisa panen selada, he..he..

Boleh menyimak, karena Sumsel tidak sendirian karena  di Surabaya, tiap kampung punya “Kampung Urban Farming” dengan kolam dan kebun mini. Wali Kota Surabaya bahkan menyebut bahwa bertanam itu menyehatkan warga sekaligus menyelamatkan dompet. Di Denpasar, gerakan “Kota Hijau” menjadikan pekarangan sebagai lumbung sehat masyarakat.

Lihat juga Sleman yang sukses dengan program “KRPL” (Kawasan Rumah Pangan Lestari) yang menggerakkan ibu-ibu dasawisma untuk jadi penguasa bayam lokal.

Bahkan di luar negeri, Bangkok punya vertical farming di atap gedung, dan lebih jauh lagi biar semangat di Havana, Kuba, jadi kota mandiri pangan dengan kebun kolektif karena sanksi ekonomi bikin mereka akhirnya malah jadi rajanya sayur organik.

Oleh sebab itu, Gerakan G-SMP bukan sekadar proyek tanam-tanaman, tapi simbol pergeseran zaman. Ini tentang harga diri, tentang keberdayaan. Bahwa panti yang dulu hanya jadi penampungan, kini bisa jadi pusat percontohan. Bahwa tangan yang biasanya menengadah, kini mulai menggenggam cangkul.

Pepatah lama bilang, “Lebih baik menanam pohon hari ini, daripada terus mengeluh besok tak ada naungan”.  Maka, biarkan panti-panti jadi taman pangan, biarkan kolam lele jadi lambang revolusi diam-diam, dan kalau nanti kita panen cabai dari balik pagar panti, semoga kita juga memanen rasa malu, karena terlalu lama menggantungkan nasib pada pasar.

Siapa sangka nantinya, dibalik pagar panti sosial yang selama ini dianggap ruang istirahat dari kerasnya hidup, justru muncul tunas harapan baru. Bahwa mereka yang tak lagi diperhitungkan justru kini menjadi pelopor dalam hal yang selama ini kita lupakan mandiri dari dapur sendiri.

Tak perlu ladang luas atau alat berat. Cukup kolam kecil, semangat kolektif, dan kemauan untuk mencangkul masa depan sendiri. Dari panti sosial, dari orang-orang yang katanya lemah, dari tempat yang jarang masuk radar pembangunan kita diajak belajar hal besar ketahanan pangan itu bukan urusan kementerian saja, tapi urusan setiap halaman rumah.

Dari balik panti, kita melihat secuil revolusi, diam-diam, tanpa demo, tanpa baliho, tanpa tagar trending. Tapi terasa. Dan seperti kata pepatah lama yang dimodifikasi sedikit “Lebih baik menanam di panti daripada menunggu bantuan tak kunjung datang”.

Karena bangsa besar, bukan cuma diukur dari kekayaan alamnya, tapi dari kemampuannya menanam harapan di tempat yang tak disangka, dan revolusi, kadang memang berawal dari kolam lele.

Jadi, ingat baik-baik di balik panti, ada revolusi pangan, dan kadang, dari kolam lele, harapan itu menyembul pelan-pelan.[***]

Terpopuler

To Top