Industri

Tiga Serangkai Menuju Rote Ndao Mendunia

ist

Sumselterkini.co.id, – Kalau kata orang tua di kampung, garam di laut, asam di gunung, bertemu di wajan, artinya segala sesuatu bisa dipertemukan kalau memang niatnya kuat dan jalannya jelas. Nah, di Rote Ndao, bukan cuma garam dan asam yang dipertemukan, tapi juga Kementerian Kelautan dan Perikanan, PLN, Kantor Pertanahan, dan Pemerintah Daerah. Semuanya kompak bak personel boyband Korea, bersatu demi satu tujuan Indonesia Swasembada Garam 2027.

Inilah kisah tentang garam yang tak lagi sekadar pelengkap sambal, tapi kini diangkat derajatnya jadi bintang industri. Garam bukan cuma buat bikin ikan asin, tapi buat industri farmasi, kosmetik, hingga peleburan logam. Dan Rote Ndao, yang dulu dikenal karena tenun ikat dan angin semilirnya, kini naik kelas jadi calon pusat industri garam nasional.

Apa yang terjadi? Tiga kerja sama penting ditandatangani pertama, dengan Pemkab Rote Ndao soal penyediaan lahan dan sosialisasi. Kedua, dengan Kantor Pertanahan agar lahan tambak bisa disertifikasi. Dan ketiga, dengan PLN agar lokasi K-SIGN bisa terang benderang kayak konser Coldplay. Semua ini biar garam tidak lagi ngendon di tambak, tapi bisa nyambung ke pabrik dan pasar global.

Kita harus akui, sejak zaman VOC sampai zaman TikTok, Indonesia belum bisa mandiri dalam urusan garam. Padahal laut kita segede gaban. Tapi ya itu tadi, banyak yang garap tambak garam tapi nggak garap legalitasnya. Banyak pula yang panen garam, tapi listriknya mati melulu, kayak nasib jomblo yang terus disamber petir PHP.

Kini, dengan proyek K-SIGN, harapannya bukan cuma panen garam yang melimpah, tapi juga sistematis dan sah di mata hukum. Sertifikat lahan digenggam, listrik menyala, masyarakat sejahtera. Analoginya, kalau dulu petambak garam kerja kayak nambal ban bocor di tengah laut, sekarang mereka sudah pakai perahu motor lengkap dengan Google Maps.

Mari kita belajar dari Prancis. Negara itu bukan cuma jago bikin roti croissant dan parfum, tapi juga punya kawasan produksi garam Guérande yang terkenal seantero dunia. Mereka jadikan tambak garam bukan cuma lokasi produksi, tapi juga destinasi wisata dan tempat edukasi. Bahkan, satu sendok garam dari Guérande bisa dihargai setara semangkuk mie ayam. Nah, kalau Rote Ndao bisa meniru semangat itu, kita bisa bikin garam lokal naik kelas, dari dapur warung ke rak-rak supermarket dunia.

Tapi ingat, pembangunan K-SIGN bukan sekadar urusan menandatangani dokumen sambil senyum-senyum dan pakai batik seragam. Ini urusan jangka panjang. Butuh pengawasan, evaluasi, dan semangat gotong royong agar proyek tidak mandek di tengah jalan seperti kasus tiang pancang yang viral di medsos. Jangan sampai nanti cuma listriknya yang nyala, tapi semangat petambaknya padam karena nggak dilibatkan secara aktif.

Kalau benar-benar serius, K-SIGN di Rote Ndao bisa jadi role model nasional. Bisa jadi laboratorium pergaraman modern yang menyeimbangkan antara teknologi, kearifan lokal, dan keadilan ekonomi. Petambak garam jangan cuma dijadikan subkontrak proyek besar, tapi benar-benar naik kelas sebagai pelaku utama ekonomi pesisir.

Jangan lupa pepatah lama, Di mana ada garam, di situ ada kehidupan. Tapi mari kita upgrade di mana ada garam legal, listrik stabil, dan lahan bersertifikat, di situlah ada harapan rakyat.

Dan semoga, di tahun 2027 nanti, kita tak lagi impor garam dari negara yang garis pantainya lebih pendek dari jalan tol Trans Jawa. Rote Ndao bisa. Indonesia pasti bisa. Asal jangan cuma garamnya yang asin, tapi juga semangatnya yang manis.[***]

Terpopuler

To Top