BICARA soal batik memang tak aneh lagi, pasalnya jangan hanya membayangkan cuma kain bermotif yang dipakai buat kondangan atau souvenir. Batik adalah warisan budaya nusantara yang sudah melewati berbagai zaman, dari zaman nenek moyang sampai era digital sekarang ini. Tapi zaman sekarang, batik harus lebih dari sekadar tradisi yang dipajang di lemari, batik harus bisa bertahan hidup di tengah dunia yang berubah cepat dan tuntutan pasar global yang makin peduli lingkungan. Di sinilah peran teknologi digital muncul sebagai jembatan antara warisan budaya dan keberlanjutan lingkungan.
Kementerian Perindustrian nggak main-main mendorong transformasi industri batik agar menerapkan prinsip keberlanjutan, mulai dari pemilihan bahan baku yang alami, pengelolaan limbah produksi yang ramah lingkungan, sampai bagaimana teknologi digital membantu meminimalisasi limbah dan membuka akses pasar global. Ini bukan soal batik jadi produk yang “ngikutin trend” doang, tapi batik harus bisa tetap lestari, relevan, dan berdaya saing di era modern.
Apalagi, dulu, produksi batik itu kayak masak rendang pakai kayu bakar, panasnya melulu, api kadang terlalu besar, sampai-sampai gosong atau sisa bahan terbuang sia-sia. Sekarang, teknologi digital hadir seperti kompor induksi yang presisi pola batik dirancang di layar komputer dengan detail tanpa tumpah tinta, produksi jadi lebih efisien dan minim limbah.
Teknik digital bikin pola batik bisa didesain ulang tanpa perlu buang-buang kain, dan tanpa ribet harus nunggu cat kering yang lama.
Teknologi digital juga mengubah cara batik dipasarkan, perajin kecil yang biasanya cuma jual ke pasar lokal atau melalui perantara yang bikin harga melambung, kini bisa langsung jual ke pembeli di seluruh dunia lewat platform e-commerce khusus batik berkelanjutan, seperti jalan pintas tanpa macet, bahkan perajin dan pembeli langsung ketemu, harga tetap ramah di kantong, dan jejak karbon produksi pun lebih kecil karena rantai distribusi dipangkas habis.
Namun, transformasi ini nggak bisa jalan sendiri, Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA), Reni Yanita, bilang kalau kunci suksesnya adalah kolaborasi lintas sektor. Mulai dari pelaku usaha batik, pemerintah, asosiasi, sampai kementerian dan lembaga lain harus kompak supaya kebijakan yang dibuat tepat sasaran dan efektif.
Seperti pepatah bilang, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.” Kalau semua pihak kerja sendiri-sendiri, ya percuma, batik kita bisa ketinggalan zaman dan bahkan punah.
Kolaborasi itu juga dibuktikan dalam Gelar Batik Nusantara (GBN) 2025, di mana diskusi “Cinta Wastra Nusantara” mengangkat digitalisasi sebagai terobosan penting.
Bahan baku alami
Kepala BBSPJI Kerajinan dan Batik, Jonni Afrizon, menegaskan selain bahan baku alami, kemajuan teknologi harus diiringi agar produksi batik semakin efisien dan ramah lingkungan. Ini ibarat kalau mau bikin sate enak, bumbu harus pas dan arangnya harus tetap hijau, bukan bara api yang bikin hutan hangus.
Selain itu, Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), Komarudin Kudiya, mengingatkan inovasi digital harus tetap terjangkau bagi IKM. Jangan sampai teknologi maju tapi cuma bisa dinikmati oleh segelintir besar, sementara perajin kecil malah ketinggalan. Bayangkan kalau dapur tetangga pakai oven listrik canggih, tapi dapur kita cuma pakai kompor minyak tanah, ya jelas beda hasil dan efisiensinya.
Dari sisi lingkungan, teknologi digital juga membantu pengelolaan limbah batik yang selama ini jadi masalah klasik. Dengan sistem digital, pengawasan dan penerapan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) jadi lebih mudah.
Limbah air yang biasanya mencemari sungai bisa dipantau dan didaur ulang, jadi bukan cuma sampah yang bikin kita pusing kepala, tapi bisa jadi sumber daya baru. Ini ibarat kita mengubah limbah daun kering jadi pupuk organik yang suburkan tanaman di pekarangan rumah.
Kini, batik digital bukan cuma soal pola dan warna, tapi simbol perubahan besar dalam menjaga warisan budaya sekaligus menyelamatkan bumi dari kerusakan. Perpaduan budaya dan teknologi ini mengajarkan kita bahwa inovasi bukan musuh tradisi, tapi sahabat yang menjaga tradisi itu tetap hidup dan relevan.
Kalau diibaratkan, batik digital itu seperti perahu layar yang melaju di samudra luas layar adalah teknologi yang menangkap angin zaman, dayung adalah kolaborasi semua pihak, dan kapal itu sendiri adalah budaya batik yang harus dijaga agar tidak karam. Jika salah satu hilang, perahu ini tidak akan sampai ke tujuan keberlanjutan.
Moralnya, menjaga warisan budaya dan lingkungan itu, seperti merajut benang kain batik yang kuat butuh kesabaran, ketelatenan, dan kerja sama. Jangan sampai benang itu putus di tengah jalan karena kita nggak siap beradaptasi dengan perubahan zaman. Teknologi digital hadir bukan untuk menggantikan, tapi untuk memperkuat batik agar bisa bertahan di era globalisasi yang semakin menuntut produk ramah lingkungan.
Jadi, dukung transformasi industri batik dengan cara cerdas dan kekinian. Biar batik bukan cuma warisan nenek moyang yang jadi pajangan di museum, tapi jadi kain hidup yang bercerita tentang masa depan Indonesia yang hijau, kreatif, dan penuh inovasi. Kalau batik bisa go digital dan lestari, kenapa kita nggak?.[***]