Industri Kreatif & UKM

“Saatnya Palembang Punya Co-Working Biar Anak Muda Gak Cuma Jago Ngedit Caption”

foto ;ilistrasi/ekraf

ZAMAN sekarang, internet gratis udah kayak angin ada di mana-mana, mau nongkrong di kafe hipster dengan nama kopi yang lebih rumit dari nama bayi zaman now, tinggal beli segelas gula aren, Wi-Fi langsung nyambung. Namun, walaupun internet mudah diakses, tempat berkarya yang benar-benar mendukung kreativitas itu masih langka, terutama di Palembang sebagian besar anak muda kita masih jadi pejuang kopi dingin, kerja dari kafe, dikejar deadline sambil dengerin obrolan orang sebelah yang curhat soal mantan. Fokus pun bubar jalan, proposal yang harusnya jadi unicorn malah mentok jadi dokumen yang nggak pernah dikirim.

Padahal, yang dibutuhkan anak muda zaman sekarang bukan sekadar tempat duduk dan koneksi internet. Mereka butuh tempat hidup, tempat di mana ide bisa tumbuh, diskusi bisa mengalir, dan colokan gak rebutan sama rice cooker.

Di sinilah peran co-working space masuk tempat kerja bareng yang bukan sekadar ruangan ber-AC dengan meja berjajar dan tulisan motivasi nempel di tembok. Co-working itu ekosistem, tempat di mana energi ide menular, seperti ketawa di grup WA keluarga. Di sana ada desain grafis diskusi bareng web developer, ada penulis yang tiba-tiba ketemu ilustrator yang cocok, dan ada barista yang tahu bedanya kopi robusta dengan roaster robustir.

Tapi sayangnya, di Palembang, ruang seperti ini masih bisa dihitung pakai jari tangan sambil megang pempek, banyak yang masih ngira co-working itu tempat kerja buat anak-anak sok startup atau freelancer yang belum jelas arah hidup. Padahal, seperti kata Theodore Levitt dari Harvard, “Kreativitas itu memikirkan hal-hal baru. Inovasi itu melakukan hal-hal baru.” Nah, anak muda kita tuh udah kreatif, tapi kalau tempatnya masih sempit, ya inovasi itu tinggal di pikiran, gak pernah turun jadi karya.

Tony Bacigalupo, pendiri New Work Cities, juga pernah bilang, “Orang berkembang di lingkungan tempat mereka merasa terhubung. Co-working bukan soal meja, tapi soal energi.” Ini dia yang masih kurang di Palembang energi, bukan energi listrik PLN yang naik-turun, tapi energi komunitas tempat dimana yang bikin orang semangat bangun pagi, bukan karena ada zoom meeting, tapi karena tahu mereka akan duduk di ruang di mana ide-ide besar bisa lahir dari percakapan kecil.

Lihat kota lain, Chiang Mai di Thailand, kota yang dulunya cuma dikenal buat wisata, sekarang jadi markas digital nomad se-Asia Tenggara, coworking space-nya ratusan. Di Tallinn, Estonia, coworking ada sampai ke desa.

Pemerintah mereka tahu, internet cepat doang gak cukup, harus ada tempat buat mikir bareng. Bandung punya Bandung Creative Hub. Malang dan Makassar punya coworking yang didukung Pemda bahkan Surakarta udah kerja bareng Kementerian Parekraf buat bikin akademi game. Anak-anak Solo nanti kerjaannya bikin game, bukan cuma main game sambil makan makaroni pedas level 5.

Terus kita kapan?, kalau Palembang terus-terusan hanya mengandalkan kafe sebagai tempat kerja kreatif, jangan heran kalau talenta kita lari ke kota lain yang lebih menghargai ruang ide, karena sejatinya, anak muda itu seperti biji kopi kalau ditanam di tempat yang tepat, disangrai dengan cinta, bisa jadi espresso berkualitas. Kalau dibiarin di dalam karung, ya jadinya bau dan jadi pakan tikus.

Palembang itu kota besar, namun  kalau ruang ide-nya kecil, hasilnya ya ide yang sempit juga. kita perlu ruang yang bikin orang bisa gagal dan belajar bareng, bukan cuma ruang buat bikin event tiga bulan sekali dengan backdrop besar dan snack kotak. Palembang perlu ruang yang hidup setiap hari, yang ketika pintunya dibuka, semangat kerja ikut menyeruak bersama aroma kopi dan suara keyboard yang mengetik masa depan.

Tumbuh di ruang

Bayangin tahun depan, anak muda Palembang presentasi aplikasi buat sektor pertanian ke investor Jepang dari rooftop coworking space di Jakabaring, pakai jas tapi celana pendek karena hybrid meeting. Itu baru masa depan yang patut kita perjuangkan karena sejatinya, ide itu tidak cukup diseduh di kafe, ia harus ditumbuhkan di ruang yang menghargainya.

Jadi, kalau ada yang masih mikir, “Lah, ngapain susah-susah bangun co-working? Anak muda juga udah bisa kerja dari rumah kok!”  itu sama aja kayak bilang, “Nggak usah sekolah, kan udah ada Google.”

Kerja di rumah memang bisa. Tapi kerja di tempat yang menyala semangat, ketemu orang yang saling dorong, dan suasananya bikin otak mekar kayak kembang kol disiram pupuk organik, itu yang jarang kita punya. Co-working itu bukan soal fasilitas, tapi soal fasilitator mimpi, tempat ide-ide kecil bisa ketemu kompor gas dan meledak jadi karya besar.

Coba pikir, masa Palembang cuma dikenal karena pempek dan jembatan Ampera?. Keren sih, tapi kan bisa ditambah “Oh Palembang? itu kota yang jadi pusat inovasi anak muda Sumatera. Co-working-nya keren-keren, banyak startup lahir dari situ.” Lebih bangga gak, tuh?

Karena ujung-ujungnya, kalau anak muda kita terus dicekoki ruang sempit, acara dadakan, dan pelatihan satu arah… ya jangan heran kalau potensi besar berubah jadi potensi basi.

Sebelum ide-ide kita pindah domisili ke Bandung, Jogja, atau bahkan Chiang Mai, mari kita bangun ruangnya di sini. Bukan hanya untuk kerja, tapi untuk hidup bukan hanya untuk presentasi, tapi untuk tumbuh, bukan hanya untuk anak muda hari ini, tapi untuk generasi yang akan bilang nanti, “Aku jadi sukses karena dulu nongkrongnya bukan di warung, tapi di co-working yang dibikin Pemkot”.

Kita gak butuh gedung mewah cukup ruang yang nyaman, koneksi yang cepat, kopi yang layak, dan komunitas yang saling dorong. Sisanya? Anak muda Palembang sudah punya semangat, ide, dan stamina ngopi sampai malam. Sebelum slogan kota ini berubah jadi “Palembang Kota dengan Jumlah Colokan Paling Diperebutkan,” kita ubah arah. Buka ruang, buka peluang. Biar anak muda gak cuma viral, tapi juga produktif.

Dan siapa tahu, dari co-working di Kalidoni, lahir unicorn baru Indonesia. Atau minimal… lahir podcast yang gak hanya bahas mantan.

Ayo, Palembang geser dari co-lamun ke co-working, dari duduk di pojokan kafe sambil ngedit caption, ke ruang kerja bersama di mana ide bisa lahir, tumbuh, dan terbang. Karena masa depan kota ini bukan ditentukan seberapa besar billboard-nya, tapi seberapa besar ruang yang kita kasih untuk anak muda berpikir.

Salam kreatif, salam colokan penuh, dan salam bean bag nasional.[***]

Terpopuler

To Top