Industri Kreatif & UKM

Macron, Batik & Talenta Kreatif yang Siap Ngetop di Dua Benua

ekraf

Sumselterkini.co.id,- Pada suatu pagi di akhir Mei, Istana Merdeka tak hanya jadi tempat upacara bendera atau pidato kenegaraan. Hari itu, halaman istana berubah seperti set film gabungan antara Emily in Paris dan Siti di Jakarta. Bedanya, ini bukan drama romantis, tapi upacara tanda tangan kesepakan antara dua negara yang doyan budaya dan ekonomi kreatif.

Di antara kerlap-kerlip kamera dan bisikan para protokol, tampillah dua tokoh utama Presiden Prabowo Subianto dengan jaket khasnya yang kini makin pas di badan, dan Presiden Emmanuel Macron, yang datang dari Paris bukan untuk liburan, tapi untuk urusan kenegaraan, meski sempat terlihat melirik lukisan di dinding istana dengan rasa ingin punya.

“Lho, itu lukisan siapa? Bagus juga ya,” gumam Macron dalam bahasa Prancis yang diterjemahkan oleh penerjemah yang tampangnya lebih mirip anak band indie.

Di balik kedua pemimpin itu, berdiri dua menteri yang akan menjadi aktor utama hari ini Menteri Ekonomi Kreatif RI, Teuku Riefky Harsya, dan Menteri Kebudayaan Prancis, Rachida Dati. ikut nimbrung dengan senyum yang mengembang, mirip dua murid yang habis dikasih nilai 100 oleh guru kesenian.

“Bro, katanya Macron bakal datang pakai dasi biru. Cocok tuh sama warna karpet istana,” celetuk seorang wartawan ke temannya.

“Gue lebih penasaran sih, Prabowo bakal pakai rompi atau jas. Soalnya tiap acara beda gaya,” timpal temannya sambil ngunyah risoles.

Dan benar saja. Tepat pukul sepuluh pagi, Presiden Prabowo Subianto keluar dari pintu utama dengan jaket krem khasnya. Di sampingnya, Presiden Prancis Emmanuel Macron melangkah penuh gaya. Senyumnya seperti iklan pasta gigi.

“Bonjour, Pak Presiden,” sapa Macron sambil menjabat tangan Prabowo.

“Bonjour, Monsieur Macron. Selamat datang di Istana. Jangan khawatir, nggak ada macan di sini,” jawab Prabowo sambil tertawa.

Macron ikut tertawa, meski jelas tidak sepenuhnya paham lelucon itu. Tapi suasana jadi hangat. Apalagi waktu mereka masuk ruangan teken kesepakatan ekonomi kreatif, yang udah ditata cantik seperti ruang pernikahan tapi tanpa mantan.

Di depan meja tanda tangan, dua menteri sudah siap Teuku Riefky Harsya dari Indonesia dan Rachida Dati dari Prancis. Dua-duanya berdiri dengan gaya seperti duo penyanyi pop yang mau nyanyi duet lagu diplomasi.

Sebelum teken kesepakatan itu,  Prabowo sempat kasih sambutan.

“Kunjungan ini bukan sekadar nostalgia. Ini perayaan 75 tahun hubungan diplomatik, dan langkah menuju 100 tahun. Kalau hubungan kita ini kayak pasangan, sekarang udah masuk masa pensiun, tapi justru makin mesra.”

Hadirin tertawa.

“Kami ini bangsa dengan akar budaya kuat. Dan kami percaya ekonomi kreatif itu kayak sambal terasi kecil-kecil tapi nendang. Kalo dikembangkan serius, bisa bikin tetangga ngiler dan negara lain nyicip.”

Senyum Macron makin lebar. Ia menoleh ke Rachida.

“Il a dit sambal terasi? Qu’est-ce que c’est?” bisiknya.

“C’est… eh… macam confiture épicée locale,” jawab Rachida setengah yakin. (Itu… semacam selai lokal yang pedas.)

Akhirnya, penetekanan itu dimulai. Teuku Riefky membuka penanya sambil berbisik ke protokol. “Nanti tolong fotoin yang angle-nya dari kiri ya. Soalnya kalo dari kanan kelihatan jidat saya licin banget.”

Rachida Dati tertawa kecil.

Setelah tanda tangan, keduanya saling bertukar map berisi dokumen. Teuku Riefky berkata “Kita sepakat bikin joint program. Ada workshop, pertukaran pegiat, bahkan koproduksi film. Siapa tahu nanti kita bisa bikin film bareng, judulnya ‘From Paris to Parakan”.

Rachida menyambut dengan senyum.

“Dan desainer kalian akan kami undang ke Paris Fashion Week. Saya penasaran, batik bisa dikreasikan jadi haute couture.”

“Wah, nanti kita bikin juga Jaksel Fashion Week. Tempatnya di trotoar Blok M. Ada zebra cross, ada kopi susu, lengkap,” balas Riefky dengan gaya khasnya.

Seusai acara, Macron sempat bertanya pada Pak Prabowo

“Besok kita ke Borobudur, ya?”

“Iya. Biar Monsieur bisa lihat candi yang sudah berdiri sejak nenek moyang kita masih pakai sarung,” jawab Prabowo.

“Apakah kita akan naik ke puncaknya?”

“Kalau Monsieur kuat, silakan. Tapi saya siapkan kursi rotan dan es kelapa juga,” kata Prabowo.

Lalu dengan serius tapi santai, ia menambahkan, “Macron, budaya itu seperti benih. Kalau ditanam di tanah yang tepat, dia tumbuh, memberi buah, dan siapa tahu, jadi pohon yang akarnya sampai ke Paris.”

Pada malam harinya, makan malam kenegaraan digelar. Menu yang disajikan adalah rendang, gulai ikan, dan satu piring keju sebagai penghormatan buat tamu Prancis.

Macron mencicipi gulai, lalu bertanya.

“This is… yellow curry?”

Prabowo mengangguk. “Versi kami, lebih bersahaja. Tapi dijamin bikin pengen nambah nasi.”

“Delicious,” jawab Macron sambil tersenyum, lalu menambahkan, “Saya rasa, hubungan kita juga seperti gulai ini. Hangat, penuh rasa, dan kaya rempah.”

“Wah, nanti saya kutip tuh buat caption Instagram,” sahut Riefky dari ujung meja.

Keesokan harinya, Macron bertolak ke Borobudur, dan kabarnya ia sempat membeli kaos “I Love Jogja” dan gantungan kunci arca mini. Tapi lebih dari oleh-oleh, yang ia bawa pulang adalah mimpi-mimpi tentang batik yang bisa jalan di catwalk Paris, tentang animator Indonesia yang bisa tembus Cannes, dan tentang kreativitas yang tak kenal batas negara.

Dan seperti kata pepatah tua. “Sekali budaya berlayar, ekonomi pun ikut berkembang. Asal jangan lupa, jangkar harus tetap di tanah sendiri.”

Begitulah, kawan. Diplomasi itu tak selalu soal rudal dan resor, kadang cukup dengan kriya, kopi, dan kerjasama yang diracik sepenuh hati.[***]

Terpopuler

To Top