SORE yang mendungnya mirip hati anak kos akhir bulan, Urban Forest Jakarta mendadak berubah jadi festival akal sehat. Kegiatan itu, bukan acara diskon sembako atau lomba karaoke RW. Namun lebih keren sesuai tema The Local Market edisi ke-21, atau dalam bahasa anak kreatif dinamai “Ajang show-off legal yang bikin orang tua bangga dan mantan menyesal”.
Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, datang seperti juri MasterChef tapi versi kementerian, dia penuh gaya dan semangat 45 plus pajak, beliau menyampaikan hal yang bikin kita semua ingin buka stan kerajinan dari sendok plastik “Wah, bukan sekadar pasar, tapi showcase, bibit-bibit IP paling potensial di Indonesia!”.
Nah loh, udah kayak ladang bibit unggul, bukan bibit kangkung, ya, bibit ide. Barang nggak kelihatan, tapi kalau kena investor, bisa bikin rekening senyum sepanjang bulan.
Dulu waktu kecil, kita disuruh gambar pemandangan dua gunung, ada jalan di tengah, dan matahari kayak telur ceplok. Gambar yang katanya nggak bisa bikin kaya. Sekarang? Anak yang hobi gambar telur ceplok itu bisa jadi ilustrator NFT yang laku 20 juta satu slide. Hidup itu plot twist.
Kata motivator bohongan di TikTok, he..he “Jangan kejar uang, kejar klien yang bawa uang!” (Tapi jangan kejar bini orang juga, itu beda urusan!, ha..ha)
The Local Market ini kayak Comic-Con versi UMKM lokal. Booth-booth kecil di sana bukan cuma jual kaos, totebag, atau lilin aroma terapi rasa durian (oke yang ini mungkin kelewat kreatif), tapi jualan cerita, jualan karakter, jualan branding.
Kata nenek saya dulu “Kalau bisa hidup dari kreatifitas, ngapain rebutan jadi PNS?”, nenek saya ngomong itu sambil jualan kalung dari sedotan bekas, laris manis di CFD.
Wamen Ekraf ngajak semua tenant buat daftar di hunt.ekraf.go.id, bukan buat ikut arisan, tapi buat masuk ke etalase digital semacam katalog ajaib tempat produkmu bisa dilihat investor, pemerintah, atau mantan yang stalking diam-diam.
Bayangkan kamu bikin sabun dari lemak buah nyeleneh, lalu masuk Ekraf Hunt, dan tau-tau sabunmu diulas beauty vlogger Korea. Inilah masa depan dari kebun belakang ke layar Internasional.
Kata teman saya yang pernah gagal jualan madu sachet, “IP itu bukan cuma alamat rumah, tapi alamat rezeki!”
Wamen Irene bilang ini harusnya bukan sekadar acara, tapi gerakan nasional. Bukan Gerakan Tutup Warung Pas Maghrib, tapi Gerakan Nasional Kreatif Sampai Tua. Gerakan ini mirip orkes dangdut yang penting semua boleh tampil asal bawa suara dan niat.
Misalnya kalau tiap kota punya versi sendiri. Di Bandung ada “Pasar Ide Gila”, di Palembang ada “Pekan Pempek Kreasi” (isian sagu rasa stroberi, siapa tahu laku), dan di Papua ada “Festival Anyaman Digital”.
Biar makin nyetrum, mari kita sebar quotes ala rakyat jelata dan motivator ecek-ecek yang kadang lebih jujur dari brosur seminar “Kata tetangga saya, kalau ide kamu nggak dianggap orang waras, berarti kamu sudah di jalur yang benar”.
Kita udah masuk era di mana anak muda bisa bikin brand dari dapur kontrakan, dan menjualnya ke luar negeri cukup dari story IG. Yang penting bukan punya modal gede, tapi punya tekad, koneksi wifi, dan stok ide aneh yang berani dicoba.
Seperti kata nenek saya yang dulu cuma bisa bikin kue dari singkong, tapi idenya luar biasa, “Kalau orang bisa kaya dari jualan slime dan boba, kenapa kamu masih nunggu ilham?”.
Jadi, wahai para penjahit mimpi, perajut IP, dan penjual ide rasa sambel matah. Langit Lokal bukan cuma nama acara, tapi tempat di mana mimpi dijemur sampai matang. Jangan cuma jual barang, jual cerita. Jangan cuma cari pelanggan, bangun komunitas. Karena dalam dunia kreatif, yang tahan banting akan tahan branding.[***]