BIASANYA horor di desa identik sama pocong doyan salto, keranda terbang waktu maghrib, atau emak-emak misterius yang muncul di kebun pisang sambil bawa centong, maka “Agni: Village of Calamity” ini beda, serius!, bukan horor murahan yang modal kejut-kejutan dan lampu kedap-kedip kayak disco gagal, horor yang bisa bikin kamu mikir, merenung, terus nyesek… sambil ngupil karena saking emosionalnya.
Jadi begini ceritanya, suatu hari, Wamen Ekraf kita tercinta, Mbak Irene Umar, kedapetan main ke basecamp-nya developer lokal bernama Separuh Interactive yang mungkin dulunya mereka separuh jomblo, sekarang separuh harapan bangsa, mereka bikin gim horor yang judulnya sangat menarik, penasaran.. “Agni: Village of Calamity”. Keren, bukan?, kayak judul film festival yang siap ngalahin horor Netflix.
Tapi tunggu dulu, ini bukan sekadar game setan, tapi game berisi trauma, seni, dan hijab. Iya, bener…. Hijab. tapi bukan yang tiba-tiba terbang sendiri atau berubah jadi naga.
Di sini, hijab jadi simbol pengendalian diri dan kekuatan batin si karakter utama yang adalah seorang operator investigasi penculikan anak. Serius amat? Iya, et.. sabar dulu, mari kita bahas dari sisi yang santai.
Biasanya horor lokal cuma ngajak kita takut-takutan sambil teriak “Astaga ibu kost!”. Tapi Agni ini ngajak kita buat merenung soal trauma perempuan, disajikan lewat cerita non-linear yang sinematik banget. Kalau kamu pikir ini kayak Resident Evil versi betawi, salah, lebih mirip gabungan antara “Her Story” + “Silent Hill” + “Upin Ipin ketemu MUI”.
Wamen Ekraf sendiri bilang bukan cuma soal produknya, juga tentang proses kreatifnya, keberanian bercerita, dan niat baik membangun IP (Intellectual Property) yang bisa panjang umurnya. Ibarat cinta sejati, bukan cinta satu malam kayak diskon e-commerce.
Hasilnya luar biasanya, game ini dibikin mandiri oleh anak-anak lokal, beneran lokal, bukan lokalan, dari seniman, animator, sampai programmernya, semua buatan asli negeri sendiri. Bahkan, soundtrack-nya digarap musisi lokal juga, bukan game, namun gerakan nasional!
Dalam pertemuan yang nggak kalah epic dari pertemuan Naruto dan Sasuke, Wamen Ekraf ngasih ide gokil, gim ini bisa jadi rumah hantu!. Bayangin, kamu masuk wahana horor, tapi ceritanya tentang trauma dan hijab.
Nggak cuma takut, tapi juga tercerahkan, habis nangis karena hantu, nangis lagi karena relate banget sama ceritanya.
Mbak Wamen juga bilang, IP kayak gini bisa dikembangin jadi film, komik, merchandise, bahkan pameran. Bayangin kaos Agni di distro, atau tote bag “Village of Calamity” dipake anak-anak senja di kafe, sambil minum kopi harga sepiring nasi padang.
Bahkan yang bikin terharu tim Separuh Interactive nggak jual mimpi kosong, mereka nggak mau cuma bikin game lalu menghilang seperti mantan. Mereka mau bangun ekosistem, buka jalan buat anak-anak kreatif dari berbagai daerah. Dari anak sound design di Palu, sampai desainer UI di Tasik, semua bisa nyambung.
Kalau biasanya anak muda daerah cuma dijadikan objek edukasi “jauhi narkoba”, sekarang saatnya kalian jadi pelaku ekonomi kreatif digital.
Nih buktinya, bikin game horror yang gak sekadar horor tapi juga mendidik, mendalam, dan mendunia, bukan cuma bikin konten joget TikTok 7 detik, tapi bikin narasi 7 lapis makna.
Jangan takut, Bro dan Sis, era sekarang yang mahal bukan CPU, tapi empowerment, kata Mas Surgadeva, sang sutradara game Agni, “Yang mahal sekarang bukan teknologi, tapi empowerment”. Kalau punya ide, punya tim, punya tekad, gas aja bikin!, jangan nunggu funding turun dari langit.
Coba dulu dari kafe warkop sambil colok WiFi tetangga, semua bisa dimulai dari Separuh keyakinan, kayak nama studionya.
“Agni: Village of Calamity” bukan cuma gim, tapi testimoni bahwa mimpi bisa lahir dari layar monitor 14 inci di pojokan kos. Game ini ngajarin kita bahwa cerita lokal itu bisa jadi kekuatan global, bukan cuma karena visual atau gameplay-nya, tapi karena identitas dan nilai yang dibawa.
Yang lebih penting lagi, gim ini bukti bahwa hijab, trauma, seni, dan rasa takut bisa nyatu dalam satu produk kreatif yang keren abis.
Kepada anak-anak muda di desa, kota, pinggiran, dan mana pun kalian berada, satu pesan dari Agni, kalau kamu punya cerita, jangan dipendem. Tuangkan, entah itu lewat game, komik, film, atau puisi, karena siapa tahu, kisahmu yang kamu anggap remeh, ternyata bisa menyelamatkan dunia.
Atau minimal… bisa viral dan dibeli Netflix.
Mau ikut bikin game? Ayo kita bikin studio Satu Seperempat Interactive. Separuh punya mimpi, seperempat punya laptop, sisanya nekat.
Kalau kamu suka tulisan ini, berarti kamu udah siap jadi bagian dari ekonomi kreatif.
Kalau kamu ngakak, berarti kamu sehat.
Kalau kamu pengen main “Agni”, sabar dulu… kuartal 3 2026, ya!.[***]