Industri Kreatif & UKM

“Batik Cap Kompor Listrik, Lestari hingga Anak Cucu Tanpa Boros Gas Elpiji”

ist

ORANG bilang, “biar lambat asal selamat”, kini di dunia perbatikan nasional, pepatah itu dirombak jadi “biar cepet asal motif tetap”. Itulah kondisi dunia batik kita sekarang, makin kreatif, makin inovatif, dan makin go international, asal jangan goyang karena digoyang harga bahan baku.

Batik, sobat dagelan sekalian, bukan cuma kain motif yang dipakai kalau ke kondangan, atau kalau ikut lomba pakaian adat di kantor. Kini, batik sudah naik kasta jadi fashion statement anak muda, bahkan ada yang pakai batik buat nongkrong di kafe, main skate, sampe demo soal cicilan motor.

Jangan heran, sekarang batik udah nggak pake tungku tanah liat, tapi kompor listrik!. Ini bukan buat masak mie instan, tapi buat nyetak motif yang tetap kece badai dan berakar budaya. Listrik jalan, motif jalan, gas elpiji aman di tabung.

Seperti kata Menperin Agus Gumiwang, “Batik bukan lagi urusan seremoni doang, tapi soal identitas”. Betul Pak Menteri!, dan identitas kita harus tangguh, jangan mudah luntur kena deterjen zaman. Oleh karena itu, teknologi pun masuk. Sekarang ada mesin motif digital, ERP buat manajemen rantai pasok (kayak nyusun logistik perang tapi buat batik), bahkan ada pengolah limbah cair biar lingkungan nggak ikut menderita karena pewarna tekstil.

Batik sekarang ibarat nenek yang belajar main TikTok tetap menjaga pakem, tapi jogetnya sudah kekinian. Ada mesin CNC yang bisa nyetak motif batik sambil ngopi. Ada juga katalog digital pewarna alam, namanya NADIN, bukan Nadine Chandrawinata ya, ini beda. Tapi sama-sama alami dan cinta lingkungan.

Tapi jangan sampai inovasi ini bikin kita lupa daratan, batik tetaplah pusaka budaya, bukan cuma motif asal-asalan. Kalau motif batik mulai pakai logo QR code atau wajah K-pop, ya itu perlu ditinjau ulang, takutnya UNESCO ngambek dan batik kita dianggap berubah jadi NFT.

Makanya, lewat peringatan Hari Batik Nasional 2025, para perajin dan pengusaha kecil sedang dikumpulkan seperti lomba masak antar-RT. Dikasih pelatihan ISO, disuruh bikin batik di pesantren, bahkan diajak webinar tentang Gen-Z dan digitalisasi. Ini semua biar batik kita tetap eksis, nggak kalah sama tren busana luar negeri yang kadang bahannya nggak jelas kayak plastik dibalut tisu basah.

Apalagi Batik Tulis Merawit dari Cirebon sekarang sudah sah pakai label Indikasi Geografis. Itu kayak punya KTP khusus yang bilang. “Ini batik asli Trusmi, bukan KW dari kebon belakang”. Teknik merawitnya halus banget, kayak nulis curhat pakai eyeliner cair di atas tisu.

Nah, semua ini jadi pelajaran bahwa batik bisa lestari, bisa modern, tapi tetap tidak kehilangan akar, seperti pepatah “Kalau pun kapal berubah jadi pesawat, nakhodanya jangan lupa masih orang kampung nelayan”. Begitu pula batik, walau sudah digital dan dikasih ERP, hatinya tetap di malam panas dan canting tua.

Dukung batik bukan cuma karena motifnya lucu atau bisa matching sama outfit gebetan, tapi karena ditiap goresan malam itu ada sejarah, ekonomi kerakyatan, dan harapan emak-emak di sentra IKM yang motoin hasil batik pakai kamera HP jadul tapi penuh cinta.

Kalau industri batik ini berhasil transformasi secara digital, ramah lingkungan, dan tetap budaya, maka bukan tak mungkin tahun 2045 nanti, kita jadi negara emas bukan karena tambangnya, tapi karena warisan budaya yang makin cuan dan makin disayang dunia.

Berbatik dari hati, bukan karena hari Jumat doang, ingat! cinta itu seperti batik kalau warnanya pudar, jangan langsung dibuang, mungkin cuma butuh dijemur di bawah sinar kasih sayang.

Selamat Hari Batik Nasional 2025! Jangan lupa, batik sekarang bisa cap listrik, tapi cintanya tetap manual dan tulus!.[***]

Terpopuler

To Top