BADAN Pusat Statistik (BPS) bikin kita ternganga 52,65% penyandang disabilitas di Indonesia ternyata sudah berstatus wirausaha. Data ini disampaikan Wakil Menteri UMKM, Helvi Mulyati, di Synergy Fest memperingati Hari Disabilitas Internasional, Jakarta, 12 Desember 2024.
Angka ini bukan sekadar statistik, ini kayak tamparan halus ke kita yang sehat tapi masih males buka usaha. Bisa dibilang, mereka itu startup mode, kita baru “loading…”.
Tingkat kewirausahaan nasional, menurut Kemenkop UKM, masih di kisaran 3,5%–3,7%. Jadi bayangkan, dari setiap dua penyandang disabilitas, satu sudah mandiri membuka usaha. Pepatah lama bilang, “Tak ada rotan, akar pun jadi”, dan mereka sudah membuktikannya, dengan gaya yang kadang lebih gesit dari kita yang punya kaki sempurna tapi suka mager.
Selama ini, penyandang disabilitas sering dipandang sebagai objek kasihan. Padahal banyak yang sudah mandiri secara ekonomi.
Artinya karakter bangsa terlihat dari cara memperlakukan kelompok paling rentan. Kita bisa belajar bahwa penyandang disabilitas bukan beban, tapi guru ketahanan hidup. Dan guru ini nggak cuma memberi teori, tapi praktik langsung di “kelas pasar nyata”.
Tanpa modal besar atau jaringan luas, mereka bisa membuka usaha, membangun pelanggan, bahkan berinovasi. Banyak UMKM “normal” kalah kreatif karena terlalu nyaman kayak nonton TV sambil ngemil, tapi takut buka toko online.
Ternyata kuncinya modal terbesar bukanlah uang, tapi mental, penyandang disabilitas punya mental kayak karet gelang diregangin kesana-kemari tetap balik ke bentuknya, siap menghadapi dagangan sepi, pelanggan hilang, atau tukang parkir galak.
Kalau dagangan sepi, mereka putar strategi, kalau lokasi usaha tak ramah akses, mereka cari solusi berjualan dari rumah, menitipkan produk, atau jual online.
Pepatah Jawa bilang, “Jer basuki mawa bea”, setiap keberhasilan memang butuh biaya, tapi biaya bukan selalu uang, kadang tenaga, waktu, dan kesabaran.
Terus pertanyaanya, kenapa mereka bisa lebih mandiri ? Ada beberapa faktor, antara lain kesempatan kerja formal terbatas sehingga akhirnya mereka menciptakan pekerjaan sendiri., kreativitas dari keterbatasan, yakni sumber daya terbatas, ide pun kreatif, dan jaringan komunitas kuat, misalnya saling memberi info peluang atau jadi pelanggan pertama serta orientasi jangka panjang artinya wirausaha itu, dianggap sumber nafkah utama.
Ternyata hebatnya lagi, mereka membuktikan seperti kata pepatah lama “Daripada menunggu hujan reda, lebih baik belajar menari di tengah hujan”.
Meski demikian, masih ada tantangan/hambatan yang masih menghantui mereka, walaupun banyak yang sukses.
Data Susenas BPS 2020 24,3% menyebutkan penyandang disabilitas usia 15+ punya rekening bank, dan 14,2% punya akses kredit perbankan. Ibarat lomba lari, garis start mereka tiga kilometer di belakang.
Sementara soal digital, hanya 1,1% yang menggunakan internet, di era digital marketing, ini seperti mau jualan tapi pasar berada di kota lain tanpa ongkos ke sana. Tapi jangan salah, mereka tetap cari cara kreatif WhatsApp, TikTok, marketplace ibarat chef bikin masakan viral pakai panci kecil di dapur sempit.
Solusinya, ada beberapa langkah, yakni skema kredit mikro khusus disabilitas seperti produk perbankan ramah syarat dan pendampingan, pelatihan bisnis praktis, bukan teori, tapi praktik langsung produksi dan pemasaran. Mentoring pengusaha sukses, maksudnya agar strategi dan pengalaman bisa ditransfer dan Platform digital inklusif, seperti contoh marketplace dengan aksesibilitas tunanetra atau tunarungu.
Jack Ma pernah bilang, “Peluang ada di tempat orang-orang mengeluh” (wartawirausaha.com, 2019). Nah, penyandang disabilitas ini sudah praktik langsung lihat ada masalah, mereka langsung bikin solusi.
Dari jualan telur sampai kerajinan tangan, mereka tunjukkan kalau keluhan itu bisa jadi ladang cuan. Sekarang giliran kita, yang kadang cuma nunggu WiFi stabil, ikut buka jalan sambil belajar trik mereka tanpa harus kena hujan atau kesandung kabel listrik di pasar.
Kita sering menunda usaha karena merasa belum siap. Penyandang disabilitas mengajarkan waktu tepat adalah sekarang, modal bisa dimulai dari yang ada.
Pepatah Minang bilang, “Alam takambang jadi guru”. Mereka guru yang berdagang di pasar sebelah kita cukup mampir belajar sambil minum kopi panas.
Oleh karena itu, data BPS yang diungkap Wamen UMKM pada 12 Desember 2024 menunjukkan lebih dari separuh penyandang disabilitas adalah wirausahawan. Mereka bukan sekadar penerima bantuan, tapi sumber inspirasi. Tantangan jelas ada, tapi solusinya nyata pembiayaan inklusif, pelatihan praktis, dan teknologi adaptif.
Ekonomi inklusif bukan charity, tapi investasi dividennya, kemandirian, martabat, dan masa depan lebih setara.
Pertanyaan berikutnya di era digital, kenapa hanya 1,1% penyandang disabilitas terkoneksi internet?. Episode berikutnya akan mengupas jurang digital ini dan bagaimana teknologi bisa jadi jembatan emas menuju peluang lebih besar.[***] /artikel di atas merupakan bagian 1 dan bersambung ke bagian ke 2: “Hanya 1,1% Penyandang Disabilitas Online, Tapi Otaknya Startup Mode”