“SEPERTI menegakkan benang dalam kain, setiap kebijakan harus seimbang antara aturan dan dampaknya bagi masyarakat”. Pepatah ini terasa relevan ketika Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengambil langkah membekukan sementara Tanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (TDPSE) TikTok Pte. Ltd.
Keputusan Komdigi diumumkan pada Jumat (3/10/2025) oleh Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar, di Jakarta. TikTok dinilai tidak patuh memenuhi kewajiban hukum terkait permintaan data aktivitas TikTok Live selama unjuk rasa 25–30 Agustus 2025.
Alexander dalam rilis resminya dilaman komdigi.go.id, menegaskan bahwa langkah ini diambil karena TikTok hanya memberikan data secara parsial, padahal permintaan data mencakup traffic, aktivitas siaran langsung, dan data monetisasi, termasuk jumlah dan nilai gift.
Dalam pernyataannya, Alexander menjelaskan “Langkah ini merupakan bentuk ketegasan Pemerintah untuk memastikan transformasi digital berjalan sehat, adil, dan aman bagi seluruh warga. TikTok telah melanggar kewajiban sebagai PSE Lingkup Privat berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020”.
Dari perspektif hukum, langkah ini sah dan menjadi bentuk perlindungan negara terhadap masyarakat dari potensi penyalahgunaan teknologi digital. Terutama untuk mencegah aktivitas perjudian online melalui fitur live streaming, yang bisa merugikan pengguna, termasuk anak dan remaja.
Namun, yang ingin ditekankan bukan sekadar legalitas, melainkan imbalan dan tantangan di sisi lain. Pembekuan sementara ini juga berpotensi mengguncang ekonomi digital, khususnya bagi kreator yang mengandalkan TikTok Live untuk pendapatan.
Gift virtual dan sponsorship adalah bagian dari ekosistem mikro ekonomi kreator, dan interupsi platform bisa menghambat aliran pendapatan mereka, meskipun mereka tidak terlibat dalam aktivitas ilegal.
Perumpamaan yang bisa diambil, adalah “Seperti pohon yang akarnya terguncang, ekosistem kreator bisa ikut terguncang bila regulasi dan kesejahteraan tidak berjalan seiring”.
Di sinilah ketegangan antara kepatuhan hukum dan dampak sosial muncul, pemerintah memang perlu tegas, tetapi konsekuensi bagi warga digital juga harus diperhitungkan.
Pendekatan ini menimbulkan pertanyaan lebih luas, apakah ketegasan hukum selalu harus menimbulkan dampak negatif pada ekosistem kreator?, atau, adakah mekanisme yang memungkinkan regulasi ditegakkan tanpa merugikan warga digital yang kreatif dan produktif?.
Refleksi
Dalam hal ini, Komdigi telah menunjukkan konsistensi dan keberanian dalam menegakkan hukum digital, Alexander menegaskan,”Kami berkomitmen menjaga kedaulatan hukum nasional dalam tata kelola ruang digital, termasuk memberikan perlindungan bagi pengguna, khususnya kelompok rentan anak dan remaja, dari potensi penyalahgunaan fitur digital untuk aktivitas ilegal”.
Langkah Komdigi bisa menjadi pelajaran bagi semua platform digital yang beroperasi di Indonesia, mau tidak mau harus mematuhi Regulasi Nasional bukan sekadar formalitas, tetapi kewajiban yang menyangkut keselamatan dan keamanan publik yang lebih penting.
Oleh karena itu, bahwa ketegasan hukum harus sejalan dengan empati terhadap warga yang terdampak, di dunia digital yang cepat berubah ini, regulasi yang tidak fleksibel bisa menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang luas.
Pemerintah, platform digital, dan masyarakat harus mencari titik keseimbangan, karena hukum tetap wajib ditegakkan, tetapi ruang kreatif juga tetap terbuka dan produktif.
Pembekuan TDPSE TikTok bukan sekadar tindakan administratif, melainkan refleksi dari tantangan tata kelola ruang digital di Indonesia.
Di satu sisi, pemerintah menegakkan hukum dan melindungi publik dari potensi risiko, di sisi lain juga, ekosistem kreator digital menghadapi tantangan nyata yang memerlukan perhatian, agar kreativitas dan ekonomi digital tetap berjalan.
Sebagai penutup, benang dalam kain harus ditarik dengan hati-hati, terlalu kencang bisa merobek kain, terlalu longgar bisa membuatnya tidak berbentuk.
Regulasi digital pun demikian, harus seimbang antara ketegasan hukum dan keberlangsungan ekosistem masyarakat digital, dengan demikian, ruang digital Indonesia dapat aman, sehat, dan produktif untuk seluruh warganya.
Karena di era di mana teknologi berkembang lebih cepat daripada aturan, kita ditantang untuk menenun masa depan digital yang adil dan berkelanjutan, dimana setiap inovasi dapat memberi manfaat, bukan risiko.
Dan jadikan juga setiap langkah pengaturan sebagai pijakan, bukan penghalang, agar kreativitas dan keamanan dapat berjalan berdampingan. Oleh karena itu, masa depan ruang digital ada di tangan kita semua, dan tanggung jawab itu harus kita emban bersama.[***]