DENGAR kata pos, bayangan kita biasanya ke arah tempat nongkrong malam-malam di ujung gang pos ronda, di situlah warga gantian jaga malam, sambil rebahan di dipan bambu, ngopi hitam tanpa gula, sesekali main gaple sampai meja gedebuk kayak mau pecah. Fungsinya jelas biar maling mikir dua kali sebelum nekat, dan biar warga kampung merasa ada yang jaga.
Nah, sekarang muncul pos yang agak beda Pos Bantuan Hukum (Posbankum). Bedanya jauh sama pos ronda, kalau pos ronda jagain maling jemuran, Posbankum jagain hak-hak warga yang sering ketiban apes di ranah hukum, kalau pos ronda isinya bunyi kentongan “tok-tok-tok”, Posbankum harusnya bunyi “ketok palu” adil tapi dengan nada ramah.
Kehadiran Gubernur Sumatera Selatan H. Herman Deru ke Posbankum di Desa Siju, Banyuasin, jelas bukan sekadar formalitas. Ini langkah simbolis bahwa hukum jangan cuma turun ke kota besar dengan gedung megah, tapi juga harus hadir di desa yang masih banyak warganya bingung bedain surat kuasa dengan surat undangan kawinan.
Mari kita jujur, banyak warga desa kalau dengar kata hukum langsung keningnya berkerut. Hukum sering dianggap urusan pengacara mahal, polisi, jaksa, atau hakim yang duduk di kursi tinggi dengan toga hitam. Padahal, hukum mestinya seperti pagar rumah, kalau dipasang dengan benar, bikin nyaman, kalau dipasang asal-asalan, malah bikin kaki nyangkut waktu keluar masuk.
Posbankum ini ibarat pos ronda yang naik level, dulu orang kampung ronda supaya maling nggak masuk, sekarang pos ini ronda supaya ketidakadilan nggak main seenaknya. Dulu orang jaga biar ayam nggak hilang, sekarang jaga biar hak waris, tanah, atau masalah sengketa kecil nggak bikin warga kehilangan akal sehat.
Ada pepatah Jawa bilang “Wong cilik nek ora diayomi, koyo kebo ilang tali”, artinya, rakyat kecil tanpa perlindungan hukum gampang tersesat dan dimanfaatkan. Posbankum ini jadi tali, itu jadi penuntun biar nggak nyasar di hutan hukum yang rimbun.
Kedepannya program Posbankum nantinya jangan sampai cuma jadi bangunan cantik dengan papan nama mengkilap, sementara isinya kosong kayak pos ronda siang bolong. Hukum itu bukan sekadar formalitas, tapi butuh pendampingan nyata. Kalau posnya cuma jadi tempat tempel spanduk atau ngadem dari panas, ya sama saja dengan bangun gazebo di sawah, indah dipandang, tapi nggak ada efek langsung ke warga.
Pemerintah daerah dan pusat harus memastikan ada struktur jelas, petugas terlatih, dan layanan gampang diakses, jangan sampai warga datang minta konsultasi hukum, yang ditemui malah kursi kosong. Bayangkan kalau maling masuk kampung, ronda lagi tidur, kentongan malah jadi bantal, kan sama aja bohong.
Kalau bisa, Posbankum ini juga bukan cuma melayani masalah hukum setelah kejadian, tapi juga edukasi pencegahan, misalnya, ngajarin warga cara bikin surat perjanjian sederhana, bedanya jual beli resmi dengan “jual beli ala lisan” di warung kopi, sampai soal pentingnya bayar pajak tepat waktu, karena kalau kata orang tua. “Sedia payung sebelum hujan lebih murah daripada ganti genteng sesudah bocor.”
Supaya beda dari program pasaran, ada baiknya Posbankum ini juga jadi kampung literasi hukum, jangan bayangkan muluk-muluk kayak seminar kampus dengan power point ribet. Cukup dengan cara sederhana, yakni teater rakyat, pentas wayang, atau lomba pantun hukum di acara 17 Agustusan, misalnya pantun begini
Jalan ke pasar bawa keranjang, beli sayur lupa bawa uang.
Kalau berurusan jangan curang, hidup damai jadi tenang.
Lewat cara begitu, hukum jadi akrab, bukan sesuatu yang bikin takut. Anak-anak sejak dini ngerti bahwa keadilan itu bukan milik pengacara doang, tapi milik semua orang.
Selain itu, Posbankum juga bisa sinergi dengan program digitalisasi desa. Zaman sekarang, nggak semua masalah harus datang fisik. Seandainya Posbankum punya aplikasi sederhana warga bisa tanya lewat WA atau web desa, terus dapat jawaban langsung dari petugas hukum, ibarat ronda zaman dulu pakai kentongan, sekarang tinggal pencet tombol di HP.
Herman Deru juga sempat mengingatkan soal pemutihan pajak kendaraan. Ini contoh nyata bahwa kesadaran hukum itu luas. Jangan sampai warga rajin ronda jagain kampung, tapi lupa jaga surat kendaraan sendiri. Pepatah bilang “Rumput tetangga memang lebih hijau, tapi STNK sendiri jangan sampai mati”
Kalau semua sadar hukum, urusan negara jadi ringan, dari taat pajak, taat aturan lalu lintas, sampai urusan sengketa kecil di kampung bisa diselesaikan tanpa ribut panjang. Ingat, hukum itu ibarat lampu jalan, kalau lampunya padam, jalan gelap, maling betah, kalau lampunya terang, semua orang melangkah tenang.
Posbankum di Banyuasin ini adalah simbol negara hadir sampai ke desa, jangan biarkan pos ini hanya jadi “monumen papan nama.” Jadikan ia pos ronda versi modern, bukan cuma jagain ayam kampung, tapi juga jagain hak rakyat.
Kalau dulu bapak-bapak ronda sambil nyanyi, “satu jam saja kutidur malam ini…,” sekarang Posbankum harus nyanyi lagu baru “satu hak pun tak boleh hilang malam ini”; Dukung bersama, karena desa yang sadar hukum itu ibarat sawah dengan irigasi lancar, tanamannya subur, rakyatnya makmur, dan maling pun enggan lewat.[***]