Sumselterkini.co.id,- Begitu mendarat di Bandara King Abdulaziz, Jeddah, Kamis malam, Menteri Agama Nasaruddin Umar langsung pasang wajah serius. Bukan karena pesawat sempit atau nasi kotak keasinan, tapi karena satu hal penting wukuf di Arafah bukan sekadar acara piknik berjamaah!.
Disambut oleh rombongan tokoh penting mulai dari Dubes Abdulaziz sampai Konjen Yusron yang senyum-senyumnya setulus jemaah baru keluar dari Masjid Nabawi, Menag tidak buang waktu. Bareng Naib Amirul Haj Romo Syafi’i dan tim formasi lengkap berisi nama-nama besar seperti Muhadjir Effendy dan Dudung Abdurachman, mereka langsung tancap gas bukan naik skuter listrik, tapi dengan semangat fastabiqul khairat.
Begitu koper belum sempat disusun rapi, Menag langsung melemparkan pesan penting yang menggelegar seperti toa masjid volume maksimal. “Jangan sampai kejar sunah, tapi lupa yang wajib. Ibarat orang pacaran, sibuk mikirin caption Instagram, tapi lupa ajak nikah!”
Ya, ibadah haji bukan kontes fashion gamis terbaru, apalagi lomba posting di TikTok sambil naik unta. Menurut Menag, kesuksesan haji itu bukan hanya soal konsumsi yang cocok lidah Nusantara, hotel yang empuk kayak kasur emak, atau bus ber-AC yang sejuknya lebih adem dari mantan. Tapi inti dari semua itu pemahaman syarat dan rukun haji. “Kalau rukun nggak dijalani, syarat nggak terpenuhi, ya sama aja kayak masak rendang tapi lupa dagingnya. Jadi gulai bumbu doang!”
Untuk itulah, Kementerian Agama memberangkatkan tim musytasyar dinni alias para pembimbing ibadah. Bukan sembarang ustaz, tapi kaliber top yang bisa menjelaskan perbedaan antara thawaf ifadah dan thawaf muter-muter cari sandal. Total ada 20 ulama yang dikirim khusus, mereka datang lebih dulu, mirip tim advance kalau di dunia perpolitikan. Tapi tugas mereka mulia menyelamatkan ibadah jemaah dari jebakan “haji setengah jadi”.
Nah, selain urusan rukun dan syarat, Menag juga menyoroti hal yang nggak kalah penting kesehatan!. Jangan mentang-mentang mau dapat pahala dobel, lalu ngotot arbain padahal lutut sudah protes dan tekanan darah naik turun kayak harga cabai pas Lebaran.“Ibadah itu prioritas. Kalau badan udah ngasih sinyal SOS, ya istirahat. Jangan maksa demi konten atau gengsi!” tegas Menag sambil menepuk dada penuh makna.
Para petugas juga diminta jangan cuma jadi pelengkap rombongan. Mereka harus proaktif, bantu jemaah bikin strategi ibadah yang logis dan realistis. Koordinasi kloter ditingkatkan, laporan disampaikan rutin kepada Presiden Prabowo yang katanya, sudah mengirim dua jempol virtual sebagai tanda apresiasi. “Bapak Presiden nitip pesan jaga kekompakan, jaga jemaah, dan jangan lupa doakan bangsa!” ujar Menag.
Menag bak nasihat orang tua ke anak kos sebelum balik ke kampung. “Jangan lupa doakan negeri ini. Doakan Presiden, doakan para pelayan rakyat. Semoga bisa bawa bangsa ini ke arah yang dirindukan bukan cuma arah kiblat!”
Pepatah bilang. “Yang ringan jangan dianggap remeh, yang sunah jangan lebih berat dari yang wajib.”
Karena ibadah haji itu bukan pamer gamis di bawah payung hijau Masjidil Haram, tapi tentang perjalanan hati yang menuju ilahi. Kalau niatnya lurus, ilmunya cukup, dan lututnya masih bisa diajak kompromi, insya Allah mabrur itu bukan cuma mimpi.
Ibadah haji itu bukan sekadar safari religi. Bukan pula ajang pembuktian outfit seragam atau lomba upload story dari atas bus. Haji itu ibadah berat, penuh makna, dan tak bisa dikerjakan asal-asalan. Perlu ilmu, fisik, dan keikhlasan.
Kalau kata pepatah “Naik haji bukan soal berangkat ke Tanah Suci, tapi soal pulang membawa hati yang suci”
Jadi, buat para jemaah jangan sampai pulang cuma bawa sajadah baru dan kurma, tapi amalan kosong melompong. Haji itu bukan hanya soal ‘pergi’, tapi soal ‘mengerti’.[***]