“Kalau cinta diuji lewat cemburu, maka penyuluh KP diuji lewat ombak”
Sumselterkini.co.id,- Begitu kira-kira pengantar pembuka kalau kisah ini dibuat sinetron Ramadan. Tapi ini bukan sinetron. Ini nyata. Ini kisah tentang Dowinta, seorang Penyuluh Kelautan dan Perikanan dari Kepahiang, Bengkulu, yang tiba-tiba harus jadi nahkoda darurat, navigator nasib, sekaligus penenang keluarga di atas kapal yang mogok, di tengah Samudera Hindia, dan tanpa sinyal sama sekali.
Bayangkan niat hati mau menghadiri pemakaman adat suami tercinta di Pulau Enggano, eh, kapal malah nyangkut di tengah laut, mesin mati, angin kencang, sinyal menghilang entah ke mana mungkin ikut tenggelam bersama sinyal cinta mantan.
Sabtu, 24 Mei 2025, harusnya jadi hari perpisahan penuh makna. Tapi justru berubah jadi petualangan bertahan hidup. Tiga hari Dowinta dan keluarga terombang-ambing di lautan seperti sandal jepit hanyut di selokan. Bedanya, ini bukan got, ini Samudera Hindia, Kak!
Yang bikin salut, Dowinta tetap waras. Mungkin karena sudah terbiasa mendampingi nelayan yang sehari-hari hidup berteman ombak. Atau mungkin karena ia tahu, ketika sinyal ponsel hilang, sinyal persaudaraan di kalangan penyuluh justru hidup menyala-nyala.
Seperti pepatah nenek-nenek zaman dulu “Di saat badai datang, jangan cari wifi, tapi cari kawan sejati”. Dan benar saja. Ketika kabar Dowinta hilang kontak tersebar, jaringan penyuluh KP dari Bengkulu sampai Lampung langsung gaspol. Tanpa aba-aba, tanpa gladi resik.
Ketua IPKANI Bengkulu, Rahadian Harry D, langsung ‘angkat jangkar koordinasi’ dan menghubungi kolega di Lampung, Winarto Santosa. Winarto tak mau kalah, langsung menyisir pesisir. Dua penyuluh KP dari Pesisir Barat Muammar dan Okta Purnama jadi superhero lokal. Bukan pakai jubah, tapi pakai Google Maps dan semangat kemanusiaan.
“Kami bergerak secepat mungkin karena tahu, waktu adalah segalanya di laut,” kata Okta Purnama. Kalimat ini cocok dijadikan kutipan kalender dinding, berdampingan dengan foto pemandangan dan burung bangau.
Penyuluh KP sering kali dianggap seperti figuran dalam cerita pembangunan. Padahal, ketika kondisi darurat datang, mereka ini bisa menjelma jadi Tim SAR dengan modal WhatsApp, kompas digital, dan naluri kemanusiaan.
Dowinta akhirnya ditemukan di jarak 27 mil laut dari Pantai Bengkunat. Untung bukan 28 mil, nanti disangka sekuel film bencana. Kapal ditarik ke darat, Dowinta dan keluarga dalam kondisi stabil, hanya perlu teh hangat dan pelukan bukan infus.
Kepala BPPSDM KP, I Nyoman Radiarta, bilang dengan bangga, “Penyuluh KP tidak hanya dibina untuk memberdayakan masyarakat pesisir, tetapi juga siap bertindak dalam situasi darurat” Sebuah pernyataan yang bikin hati hangat, kayak makan pempek kapal selam pakai cuka buatan ibu sendiri.
Di dunia yang makin penuh sinyal tapi miskin rasa, kisah ini jadi tamparan halus. Ketika teknologi tak bisa diandalkan, yang menyelamatkan adalah solidaritas. Dalam banyak hal, laut memang bisa jadi guru kehidupan ia tak pernah memanjakan, tapi juga tak pernah pilih kasih. Laut memperlakukan semua orang sama asal bisa berenang dan tahan angin.
Penyuluh seperti Dowinta dan kawan-kawan adalah manifestasi nyata bahwa pembangunan tak hanya soal data dan dana, tapi soal hati dan aksi. Mereka bukan robot birokrasi. Mereka manusia dengan empati. Di tengah laut pun, mereka tetap jadi penyuluh menyuluh harapan, menyuluh keberanian, menyuluh makna solidaritas.
Tiga hari terombang-ambing bukan waktu yang sebentar. Apalagi tanpa tahu apakah pertolongan akan datang, atau hanya cerita yang kelak muncul di grup WA alumni sebagai “kabar duka”.
Namun Dowinta selamat. Dan bukan hanya karena keberuntungan, tapi karena jaringan manusia yang solid seperti tambang kapal. Kisah ini bukan sekadar cerita dramatis, tapi juga refleksi tentang pentingnya menjaga jaringan kemanusiaan—bukan hanya sinyal ponsel.
Karena ketika laut mengguncang, dan mesin kapal mogok, satu-satunya yang tak pernah rusak adalah cinta dari sesama penyuluh.
Mungkin… dari almarhum suami yang diam-diam masih menjaga dari seberang sana. “Laut bisa membuatmu kecil, tapi solidaritas membuatmu besar”
Dan dalam kisah ini, penyuluh KP tampil gagah tanpa seragam tempur, tanpa spotlight tapi dengan hati sebesar samudera.[***]