KALAU bicara soal sawit rakyat di Musi Banyuasin (Muba), ceritanya mirip seperti pepatah lama “Ayam mati di lumbung padi” Bayangkan, para pekebun sawit sudah puluhan tahun berkeringat, menanam, merawat, panen, bahkan jadi tulang punggung ekonomi keluarga. Eh, belakangan lahan mereka tiba-tiba dicap “kawasan hutan”. Jadi, ibaratnya sudah capek nanam singkong, yang dapat malah dituduh maling ubi tetangga, lucu tapi getir, kan?
Nah, di sinilah masuk peran Bupati Muba H.M. Toha Tohet, S.H., yang belakangan viral bukan karena joget TikTok, tapi karena nekat pasang badan untuk sawit rakyat. Ia bilang dengan lantang bahwa Pemkab Muba siap menganggarkan APBD-P demi percepatan pelepasan lahan sawit rakyat dari status kawasan hutan. Kalau istilah warung kopi, ini namanya “bupati ikut patungan” biar rakyat bisa tidur nyenyak.
Cerita sawit rakyat di Muba ini unik, banyak dari lahan itu dulunya program transmigrasi dan plasma perusahaan. Jadi bukan asal serobot hutan. Tapi belakangan, status hukum berubah-ubah bak sinetron kejar tayang. Akibatnya, petani sawit rakyat seperti duduk di ujung jalan buntu, mau ikut program peremajaan sawit rakyat (PSR) tak bisa, mau akses modal ke bank ditolak, mau sertifikasi ISPO ditendang duluan.
Padahal, secara ekonomi, sawit rakyat ini penyumbang besar, bukan hanya buat dapur mereka sendiri, tapi juga roda perekonomian daerah. Dari upah buruh, pedagang pupuk, sampai warung tepi jalan, semua kebagian rezeki. Jadi kalau sawit rakyat tersendat, dampaknya berantai, ekonomi lokal bisa seret, seperti motor kehabisan bensin.
Biasanya APBD dipakai untuk bangun jalan, jembatan, atau gedung perkantoran megah, namun kali ini, Bupati Muba mengalokasikan APBD-P khusus untuk inventarisasi dan verifikasi pelepasan kawasan hutan, ini semacam jurus kreatif ala daerah, karena dari APBN anggaran tersebut tidak tersedia.
Kebijakan ini menarik karena menyentuh langsung perut rakyat, dengan legalitas lahan, petani sawit rakyat bisa akses program PSR, sertifikasi ISPO, hingga masuk ke rantai pasok global. Intinya, sawit rakyat tidak lagi dianggap anak tiri, melainkan naik kelas jadi pemain resmi di panggung ekonomi hijau.
Dalam dunia bisnis, legalitas itu ibarat SIM bagi pengendara, mau motornya baru, lampunya terang, atau helmnya mahal, kalau tak punya SIM tetap saja dianggap melanggar. Sama halnya dengan sawit rakyat, kebun mereka subur, hasilnya bagus, tapi tanpa legalitas lahan, akses ke program pemerintah dan pasar internasional tertutup.
Apalagi, pasar global makin cerewet soal isu keberlanjutan. Uni Eropa, misalnya, sudah pasang aturan ketat soal deforestasi. Kalau sawit rakyat masih berstatus di kawasan hutan, otomatis mereka akan dicoret dari daftar pemasok, ini bisa jadi ancaman serius buat devisa negara dan keberlanjutan ekonomi daerah.
Maka, langkah Pemkab Muba ini bukan hanya soal agraria, tapi juga strategi ekonomi, memberi kepastian hukum pada sawit rakyat berarti memberi tiket masuk ke ekonomi hijau yang lebih berdaya saing.
Coba bayangkan begini ada tujuh ketua KUD sawit di Muba datang audiensi ke bupati, situasinya mirip rombongan pemain dangdut minta izin manggung di kampung sebelah. Kalau tak ada izin, bisa-bisa dibubarkan satpam. Tapi setelah bupati kasih dukungan, mereka bisa manggung dengan sound system resmi, bukan pakai toa mushola pinjaman.
Itulah makna legalitas sawit rakyat, dengan izin resmi, pekebun bisa manggung di panggung ekonomi nasional bahkan global, bukan lagi tampil sembunyi-sembunyi.
Ada hal serius di balik dagelan ini, kalau pemerintah dulu mendorong transmigrasi dan plasma sawit, jangan sekarang tiba-tiba mengklaim lahan itu sebagai kawasan hutan tanpa solusi. Itu sama saja seperti orang tua yang dulu menyuruh anaknya jadi pemain bola, lalu saat sudah mahir, dibilang jangan main di lapangan, itu bukan punya kamu.
Masyarakat butuh kepastian, bukan kebijakan plin-plan, dukungan Bupati Muba menjadi sinyal penting daerah tidak tinggal diam. Jika daerah lain meniru langkah ini, bisa jadi ada terobosan besar dalam reforma agraria yang lebih adil.
Kalau pelepasan kawasan hutan ini berhasil, dampaknya luar biasa, yakni petani dapat kepastian hukum, ekonomi lokal hidup, warung-warung ramai lagi, pemda dapat tambahan PAD dari sawit berlegalitas dan Indonesia dapat poin lebih di mata pasar global soal komitmen keberlanjutan.
Singkatnya, ini bukan sekadar urusan sawit, tapi urusan masa depan ekonomi hijau Indonesia, legalitas lahan sawit rakyat bukan sekadar urusan kertas dan stempel, Ini soal keberlangsungan ekonomi, keadilan sosial, dan daya saing global. Muba sudah memberi contoh lewat keberanian menggunakan APBD-P untuk memperjuangkannya.
Kalau kebijakan ini berhasil, sawit rakyat tidak lagi jalan di tempat, mereka bisa ikut PSR, dapat sertifikasi ISPO, akses modal bank, hingga jadi pemain resmi di panggung global.
Jadi, pesan akhirnya sederhana, yakni jangan biarkan sawit rakyat mati di lumbung padi, mereka sudah berpuluh tahun berpeluh di kebun. Saatnya negara hadir penuh, bukan sekadar lewat seremonial, dan kalau Bupati Muba sudah pasang badan, seharusnya pemerintah pusat juga ikut turun gelanggang, sebab, sawit rakyat bukan masalah kecil, tapi fondasi besar ekonomi daerah dan bangsa.[***]