Ekonomi

“Ekspor Kita Naik, Tapi… Masa Sumsel Terus Ngangon Batubara & Nyadap Sawit Doang?”

ist

Sumselterkini.co.id – Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Selatan menggelar rilis yang bikin sebagian pejabat bisa tersenyum miring, ekspor kita naik, inflasi pun ikut menanjak. Katanya, neraca perdagangan kita surplus US$515,16 juta.

Lumayan, katanya, bisa buat modal beli mimpi jadi provinsi maju. Tapi coba kita tengok lebih saksama, jangan-jangan kita ini senang jalan, tapi jalannya itu-itu saja lewat kebun sawit, nambang batubara, nyalain kompor pakai listrik yang terus naik, dan sesekali beli emas perhiasan biar dibilang mewah di tengah jerit harga cabai.

Inflasi month-to-month mencapai 1,39%. Pendorong utamanya? Tarif listrik. Artinya, makin banyak yang kepanasan bukan cuma karena cuaca, tapi juga tagihan PLN. Tambah lagi, emas perhiasan jadi penyumbang inflasi y-on-y terbesar. Entah itu karena warga makin suka tampil mentereng, atau karena emas dianggap investasi terakhir saat harga cabai lebih mengerikan daripada film horor lokal.

Tapi yang paling menarik (dan harusnya bikin kita garuk-garuk kepala), ekspor kita tetap bergantung pada sawit, karet, dan batubara, seolah-olah kita ini negara zaman Belanda, yang kalau nggak ngangkut hasil bumi, ya nambang dari pagi sampe maghrib. Padahal dunia sekarang sudah geser. Orang udah mulai jualan ide, pengalaman, dan gaya hidup. Ekonomi kreatif merajalela. Tapi Sumsel? Masih sibuk ngasap dari cerobong dan ngambek kalau harga CPO jatuh.

Kita memang punya sumber daya alam yang melimpah atau dalam bahasa teknokrat  endowment factors, tapi jangan sampai jadi kutukan kekayaan, seperti kata Prof. Emil Salim, “Sumber daya alam yang dikelola tanpa visi hanya akan menjadi jebakan ekonomi.” Nah loh. Udah kaya sawit, masih jebakan juga.

Coba lihat tetangga sebelah Jawa Barat, mereka dorong petani kopi Garut bukan cuma jual biji, tapi juga buka kedai kopi bertema lokal, jual pengalaman memetik kopi, bahkan bikin paket wisata ‘ngopi di kabut pegunungan’. Sementara kita di Sumsel, punya kopi Semendo yang rasanya mantap, tapi pemasarannya belum begitu maksimal, meskipun ada ekspor tapi masih seputar negara tetangga- Negeri Jiran Malaysia.

Kenapa nggak kita kolaborasikan petani kopi dengan anak muda kreatif? Bikin konten, desain kemasan, jualan online, bahkan gelar Festival Kopi Semendo tiap tahun. Nah itu baru namanya ekspor rasa, bukan cuma ekspor hasil.

Atau lihat Banyuwangi. Kabupaten kecil ini dulu cuma dikenal lewat lagu “Umbul-umbul Blambangan”. Tapi sejak mereka berani ngolah sektor agrowisata dan budaya, sekarang turis antre buat liat sunrise di Ijen, nonton festival rakyat, bahkan beli mangga lokal dalam bentuk keripik kekinian. Semua dimulai dari keberanian menjual pengalaman, bukan cuma barang.

Lantas kenapa Sumsel nggak bisa? Kita punya durian Musi Rawas, nanas Prabumulih, sayur mayur Lahat, beras premium Ogan Ilir. Tapi belum pernah ada Festival Nanas Goyang Lidah, apalagi “Durian Run” di kebun lokal. Coba kalau ada? Bisa-bisa konten viral, TikTok rame, ekonomi desa naik, dan tentu saja devisa nambah.

Ekonomi kreatif bukan sekadar film dan musik. Ia bisa masuk ke agrobisnis  desain kemasan pupuk organik, pelatihan tani lewat video YouTube, bahkan jual bibit online pakai sistem langganan seperti Netflix. Petani bisa jadi content creator, hasil panen bisa dijual lewat live shopping. Tapi ya itu tadi, semua butuh keberanian untuk keluar dari zona nyaman kebun dan tambang.

Seperti kata Sandiaga Uno, “Kita tidak bisa lagi mengandalkan sumber daya alam saja. Masa depan Indonesia ada pada kreativitas, inovasi, dan kemampuan adaptasi.” Kalau Sandi bicara, kadang kita tertawa, tapi kali ini bolehlah kita aminkan.

Jadi, meski ekspor kita naik, jangan terlena. Jangan sampai kita ini kayak orang yang tiap minggu menang lomba panjat pinang, tapi tak pernah bisa keluar dari lingkaran tiang itu sendiri. Pusing di atas, jatuh ke bawah, naik lagi, dan begitu terus.

Mari kita siapkan Sumsel masa depan. Yang bukan hanya jago nyadap sawit dan nambang batubara, tapi juga lihai jual cerita dari dapur, ladang, dan festival. Supaya suatu hari nanti, dunia mengenal Sumsel bukan cuma dari ekspor karet, tapi dari ide-ide segar dan kreativitas yang berkelanjutan. Karena seperti kata pepatah lama. “Kalau bisa menjual rasa, kenapa cuma menjual batang?”.[***]

 

Terpopuler

To Top