Ekonomi

“Ekonomi Karbon Jadi Duit Kopi”

ist

PERNAHKAH anda membayangkan oksigen yang kita hirup tiap hari bisa jadi duit? Dulu, yang namanya udara cuma dianggap gratisan hirup sepuasnya, buang seenaknya. Tapi sekarang, lewat konsep nilai ekonomi karbon, udara bersih bisa disulap jadi “komoditas masa depan”. Dan yang lebih menarik, petani hutan lah yang bisa jadi “juragan oksigen”.

Bayangkan, kalau dulu petani hutan hanya bisa menjual kopi, karet, atau singkong, kini mereka punya dagangan baru udara segar. Mirip seperti warung kopi kekinian, tapi menunya bukan latte atau cappuccino, melainkan “CO₂ berkurang, oksigen bertambah”.

Kebijakan yang diluncurkan lewat kerja sama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Kehutanan ini membuka jalan baru. Perhutanan sosial, kini tak hanya bicara kayu dan hasil bumi, tapi juga “jual beli karbon”. Perumpamaannya begini, kalau dulu menabung itu pakai uang kertas, sekarang menabung bisa dengan cara menjaga pohon.

Hutan pun berubah fungsi jadi semacam “bank hijau”. Petani hutan yang menanam pohon bisa dianggap sedang setor deposito. Bedanya, bunganya bukan lembaran rupiah, melainkan sertifikat karbon yang bisa diuangkan. Seperti pepatah, “sambil menyelam minum air”, di sini artinya sambil menanam pohon, dapur pun tetap ngebul.

Mari kita buat ilustrasi kocak tapi serius. Ada Pak Bejo, petani kopi di Lampung. Dulu kalau panen, harga kopinya kadang bagus, kadang jeblok. Kalau pas harga jeblok, kopi dijual cuma cukup buat bayar cicilan utang ke tengkulak, bahkan kadang kurang. Nah, dengan adanya nilai ekonomi karbon, Pak Bejo bisa punya “pendapatan sampingan” dari menjaga kebun kopi yang ditanam di lahan perhutanan sosial.

Ibaratnya, kalau harga kopi jatuh, masih ada “tabungan oksigen” yang bisa dicairkan. Jadi, petani tidak melulu bergantung pada pasar komoditas yang mood-nya kayak sinetron, hari ini manis, besok pahit.

Istilah ekonomi hijau sering terdengar di seminar mewah, tapi buat petani hutan, artinya sederhana hutan tetap hijau, dompet ikut ijo. Kalau selama ini ekonomi hijau hanya jadi bahan power point pejabat, sekarang harusnya bisa jadi bahan bakar dapur rakyat.

Pepatah bilang, “bagai aur dengan tebing, saling menopang”. Begitulah seharusnya hubungan antara hutan dan petani. Hutan tetap lestari, petani tetap sejahtera. Jangan sampai terbalik: hutan gundul, petani melarat, pejabat kenyang seminar.

Memang, penandatanganan MoU OJK dan Kementerian Kehutanan sudah jadi awal yang bagus. Tapi jangan sampai MoU itu hanya jadi koleksi pigura di kantor. Masyarakat butuh implementasi nyata: akses pembiayaan, harga karbon yang jelas, dan pasar yang stabil.

Kalau tidak, ya sama saja kayak jualan kopi sachet di tengah hutan wangi doang, tapi nggak ada yang beli. Petani hutan butuh bank benar-benar turun tangan, bukan cuma hadir pas acara foto bareng.

Seiring dunia makin peduli dengan perubahan iklim, sertifikat karbon jadi rebutan. Negara-negara maju rela bayar mahal supaya hutan kita tetap tegak berdiri. Nah, ini peluang emas. Kalau dikelola serius, pendapatan dari karbon bisa jadi setara bahkan lebih besar dari hasil kopi atau karet.

Tapi ingat, jangan sampai konsep ini jadi monopoli segelintir orang. Jangan sampai petani hutan cuma kebagian “remah-remah karbon”, sementara yang kenyang adalah perusahaan besar atau broker yang lebih lihai main angka di spreadsheet.

Ada pepatah “Jangan menjual ayam beserta kandangnya”. artinya, jangan sampai aset utama ikut habis hanya demi keuntungan sesaat. Nah, dalam konteks ini, jangan jual hutannya, jual saja udaranya. Biarkan pohon tetap berdiri, biarkan hutan tetap hijau, tapi nilai ekonominya tetap mengalir ke kantong petani.

Dengan cara ini, generasi mendatang masih bisa menikmati oksigen segar, sementara generasi sekarang tetap bisa ngopi dengan tenang.

Pada akhirnya, nilai ekonomi karbon memberi pesan sederhana oksigen bukan lagi sekadar hirupan gratis, tapi bisa jadi sumber pendapatan. Dengan MoU OJK dan Kementerian Kehutanan, jalan untuk mewujudkan hal itu sudah dibuka. Tinggal bagaimana implementasinya apakah benar-benar sampai ke petani hutan atau hanya berhenti di seminar hotel bintang lima.

Kalau serius dijalankan, dapur petani akan tetap ngebul bukan hanya dari hasil singkong dan kopi, tapi juga dari “menjual udara bersih”. Dan pepatah modern pun lahir “Siapa menanam pohon, dia menuai cuan”

Petani hutan kini punya peluang emas, dari kopi ke karbon, dari hasil bumi ke hasil udara. Selama kebijakan ini benar-benar dijalankan, hutan akan lestari, rakyat sejahtera, dan Indonesia bisa jadi pelopor ekonomi hijau. Jadi, kalau Anda sedang menyeruput kopi pagi ini, ingatlah mungkin suatu hari nanti, aroma kopi itu akan ditemani aroma “cuan dari karbon” yang dijaga oleh petani di perhutanan sosial.[***]

Terpopuler

To Top