PERNAH gak, liat orang satu kampung tiba-tiba pasang pagar tinggi-tinggi, bikin spanduk “Rumah Ini Milik Saya, Jangan Nebeng Wifi?”. Nah, begitulah kira-kira wajah dunia sekarang, tiap negara lagi sibuk ngurus dirinya sendiri, pasang tarif, jaga pasar, rebutan investor, intinya kayak anak kecil rebutan jungkat-jungkit di taman ekonomi global.
Padahal, kalau jungkat-jungkitnya cuma dipake satu orang, ya gak bakal naik-turun dong, bro, namanya juga main bareng. Tapi rupanya, banyak yang lupa, ekonomi itu bukan lomba lari sendirian, tapi maraton estafet, yang satu capek, yang lain nyambung.
Nah, di tengah dunia yang lagi egois ini, muncullah Indonesia, negara yang kadang dianggap santai kayak di pantai, tapi ternyata bawa termos kopi ke Washington. Ya, bukan sembarang kopi, tapi kopi multilateralisme, yakni racikan kerja sama, solidaritas, dan sedikit gula-gula diplomasi.
Dalam Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia di Washington kemarin, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam rilis di laman Bank Indonesi kemarin, tampil bukan seperti dosen ekonomi yang bawa tabel inflasi, tapi seperti barista ekonomi dunia.
Ia menyeduh tiga racikan utama, antara lain bauran kebijakan moneter, fiskal, dan stabilitas keuangan, biar dompet rakyat gak kering, reformasi struktural lewat hilirisasi dan digitalisasi, biar ekonomi kita gak kayak pisang goreng, habis manis sepah dibuang dan terakhir, kerja sama perdagangan dan investasi lintas negara, karena bisnis itu bukan adu jotos, tapi adu pintar bikin manfaat bareng.
Perry bilang, “Multilateralisme jauh lebih efektif dibanding unilateralisme dalam mendorong pertumbuhan ekonomi global dan mengatasi ketidakseimbangan”, singkatnya, kerja bareng bikin tambah kuat, kerja sendiri malah bikin cepat capek.
Di saat negara lain lagi sibuk naikkin tarif dan nyalahin tetangga, Indonesia justru ngajak ngopi bareng “Hei, daripada perang dagang, mending tukeran ide, daripada adu tarif, mending adu inovasi”
Oleh karena itu, ekonomi global sekarang ini mirip seperti pasien pilek kronis, bersin di Amerika, demam di Asia, batuknya kedengeran sampai Afrika. Semua saling terhubung, tapi malah pada sibuk nutup pintu. Bahkan proteksionisme naik daun, seolah-olah dunia bisa sehat kalau tiap negara pakai masker sendiri.
Masalahnya, udara ekonomi itu gak bisa disekat, satu kebijakan aneh di Eropa bisa bikin ekspor kita megap-megap, bahkan harga minyak bersin dikit aja, tukang bakso ikut ngos-ngosan.
Oleh sebab itu, maka multilateralisme itu bukan jargon kuno, ia seperti obat herbal yang harus diminum bareng-bareng. Emang pahit di awal, tapi bikin sehat semua, kata orang bijak, “Kalau mau cepat, jalan sendiri, tapi kalau mau sampai jauh, jalan bareng”.
Utang & Ketimpangan
Pertemuan IMF kali ini juga rame bahas AI, utang, dan ketimpangan, tiga hal yang mirip sinetron prime time, yakni satu bikin penasaran, satu bikin stres, satu bikin iri.
Dan AI bisa jadi penyelamat, tapi juga bisa jadi tukang PHK digital, utang negara makin tinggi, sementara produktivitas kadang masih nyender di kursi malas. Ketimpangan pasar kerja bikin banyak orang ngerasa kayak main monopoli, tapi gak pernah dapet giliran lempar dadu.
Bahkan di tengah drama itu, Indonesia tampil kalem “Santai, yang penting solid, seimbang, dan tetap gotong royong”, seolah memberi pesan sederhana tapi dalam, seperti teh panas di pagi hujan, gak menyelesaikan semua masalah, tapi bikin hati adem lagi.
Mungkin dunia perlu diingatkan pelajaran SD dulu, seperti pelajaran PPKN, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan di sana diajarkan kalau kerja bareng itu lebih baik daripada rebutan kursi, tapi entah kenapa, begitu jadi negara besar, semua malah amnesia.
Padahal, multilateralisme itu mirip gotong royong di kampung, kalau sumur jebol, semua ikut nimbain air, kalau jalan rusak, semua ikut cor semen. Tapi di tingkat dunia, begitu disuruh iuran dana iklim, semua pura-pura gak bawa dompet.
Indonesia datang bukan ngajarin dunia, tapi ngingetin, kalau dunia ini rumah bersama, ya jangan dikunci dari dalam. “Sepandai-pandai negara menutup diri, akhirnya butuh juga tetangga buat pinjem garam”.
Oleh sebab itu, pertemuan di Washington, mungkin gak langsung bikin ekonomi sembuh, tapi setidaknya, Indonesia sudah menyalakan lilin kecil di ruang yang makin gelap bahwa di tengah arus egoisme, masih ada suara yang bilang “Ayo ngobrol dulu, jangan marah-marah terus”.
Multilateralisme bukan cuma urusan ekonomi, tapi soal kemanusiaan, tentang kesadaran bahwa kesejahteraan gak bisa tumbuh dari kecurigaan, dan seperti kata pepatah lama (yang seharusnya ditulis di dinding IMF). “Kalau kopi diminum sendiri, rasanya pahit. Tapi kalau diminum bareng, bisa jadi cerita”.
Jadi, kalau dunia mau sehat lagi, mari buka pagar, rebus air, dan duduk bareng, karena pada akhirnya, ekonomi global yang kuat bukan dibangun dari dinding tarif, tapi dari meja kopi tempat semua mau mendengar. Dan dunia boleh sibuk hitung angka, tapi Indonesia sibuk jaga rasa, karena ekonomi tanpa empati, cuma tabel tanpa nyawa.
Dan kalau dunia masih keras kepala, ya.. biarlah Indonesia yang terus nyeduh, siapa tahu aroma kopinya pelan-pelan nyadarin semua.
Karena di ujung hari, yang bikin dunia waras bukan saldo bank, tapi niat baik yang disajikan tanpa gula tapi penuh rasa..[***]