BANYAK orang alergi kalau dengar kata statistik, katanya ribet, penuh angka, bikin ngantuk, namun buat Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Afriansyah Noor, data bukan sekadar angka yang numpuk di file Excel. Data adalah senjata, kompas, bahkan pondasi biar pembangunan tenaga kerja nggak nyasar kayak ojek salah alamat.
Dalam peringatan Hari Statistik Nasional 2025 sekaligus sosialisasi Sensus Ekonomi 2026 belum lama ini, Afriansyah menegaskan sensus ekonomi punya peran vital. “Melalui sensus ini, kita memperoleh gambaran menyeluruh mengenai struktur pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan yang komprehensif,” ujarnya.
Sering kali masyarakat nganggep data itu cuma formalitas, kertas laporan tebal, grafik warna-warni, tapi habis itu masuk laci. Padahal, kata Afriansyah, di era digital, statistik dituntut lebih adaptif, inklusif, dan real-time. “Dengan keterpaduan data, kita tak hanya menghadirkan angka, tetapi juga insight yang berdampak,” tegasnya.
Seandainya kalau pemerintah bikin program pelatihan tanpa data, bisa jadi peserta yang datang cuma segelintir orang, lebih sepi daripada warung kopi pas puasa atau kebalikannya, peserta membludak, kursi kurang, ujung-ujungnya gaduh. Nah, data yang akurat bikin semua lebih pas, yakni berapa kursi disiapin, siapa yang layak ikut, sampai keterampilan apa yang lagi dibutuhin pasar kerja.
Afriansyah mencontohkan, sensus ekonomi bukan sekadar catat pabrik dan perusahaan besar, data ini juga memetakan kebutuhan tenaga kerja di semua sektor, termasuk UMKM, pekerja informal, sampai anak muda yang banting setir jadi barista atau driver ojek online.
Dengan informasi ini, pemerintah bisa nyusun kebijakan lebih strategis, apakah perlu kursus barista biar kopi kita makin estetis, atau pelatihan teknisi panel surya biar anak muda nggak cuma jago bikin konten, tapi juga siap jadi tenaga kerja hijau.
“Seperti peningkatan keterampilan, penguatan kewirausahaan, dan perluasan kesempatan kerja yang selaras dengan perkembangan ekonomi nasional maupun global,” jelas Afriansyah.
Lebih jauh, Afriansyah ngajak semua pihak, pemerintah, akademisi, pelaku usaha, sampai masyarakat buat anggap statistik sebagai bahasa pembangunan.
“Setiap data yang kita olah, analisis yang kita buat, dan diseminasi yang kita lakukan harus memiliki dampak nyata bagi kemajuan bangsa,” ujarnya.
Analogi gampangnya, statistik itu mirip Google Maps, kalau diabaikan, kita bisa nyasar ke jalan buntu, buang waktu, buang bensin. Kalau dipakai dengan benar, perjalanan jadi lebih efisien. Dan ya, pembangunan tenaga kerja juga butuh peta biar nggak muter-muter kayak driver baru yang bingung baca aplikasi.
Biar gampang, bayangin ada orang buka usaha tahu bulat, jargonnya “digoreng dadakan lima ratusan” kedengaran keren, tapi dia nggak pernah catat siapa yang beli. Ternyata pembelinya mayoritas anak sekolah. Begitu libur panjang, penjualannya ambruk. Andai dari awal dia rajin ngumpulin data, mungkin bisa inovasi bikin “tahu bulat isi WiFi” biar mahasiswa juga doyan nongkrong.
Itu contoh kecil betapa data bisa jadi penyelamat usaha, dagelannya jelas, tapi pesannya serius: jangan remehkan statistik.
Afriansyah juga menekankan pentingnya data ketenagakerjaan akurat untuk mendorong terciptanya tenaga kerja hijau, produktif, dan kompeten. Bukan hijau rambutnya, tapi hijau dalam arti ramah lingkungan: energi terbarukan, transportasi rendah emisi, hingga industri daur ulang.
Kata Afriansyah, arah pembangunan Indonesia sekarang harus sinkron sama tren global. Kalau dunia bergerak ke ekonomi hijau, masa kita masih sibuk ribut soal debat minyak goreng curah. Data bisa jadi panduan supaya tenaga kerja kita nggak ketinggalan kereta menuju Indonesia Emas 2045.
Kalau dipikir-pikir, selama ini kita sering lebih percaya kabar WhatsApp ketimbang angka resmi. Padahal, gosip bisa bohong, angka bisa salah tafsir, tapi data yang dikumpulkan dengan benar seharusnya jujur apa adanya.
Oleh sebab itu, data itu nyawa pembangunan, tanpa data, kebijakan cuma tebak-tebakan, dan kita tahu, tebak-tebakan paling sering berujung zonk.
Jadi, ketika Wamenaker bilang sensus ekonomi penting, jangan anggap itu sekadar pidato. Itu peringatan, bahwa masa depan tenaga kerja, ekonomi, bahkan nasib anak cucu kita bisa ditentukan dari seberapa serius kita ngurus data hari ini, karena ya itu tadi angka bisa bohong, tapi data jangan.[***]