ACEH dikenal dengan kopi Gayo yang bikin melek semalaman, kini ada “kopi digital” yang siap bikin generasi mudanya melek startup. Namanya Banda Aceh Academy (BAA). Fasilitas ini diluncurkan dengan semangat besar, yakni mengubah anak-anak muda Aceh dari sekadar konsumen media sosial, yang kerjaannya tiap hari scroll TikTok sampai jempol bisa diservis ke tukang urut menjadi produsen aplikasi, solusi teknologi, bahkan calon unicorn.
Menariknya, langkah Banda Aceh ini bisa bikin provinsi lain di Sumatera terkejut sambil garuk-garuk kepala, “Lho kok Aceh duluan bikin beginian? Bukannya Palembang, Medan, atau Padang yang katanya pusat bisnis dan perdagangan?”, Nah, inilah yang bikin kita penasaran apa resep rahasia Aceh sampai bisa tancap gas di jalan tol digital?
Mari kita mulai dari akar masalah, selama ini, mayoritas anak muda Indonesia, bukan hanya Aceh lebih banyak jadi konsumen digital. Bangun tidur, yang dicari bukan air wudhu, tapi notifikasi WA. Jam makan siang, yang ditatap bukan lauk, tapi scroll reels Instagram. Malam sebelum tidur, niatnya “scroll sebentar”, eh tahu-tahu jam 3 pagi masih ketawa sendirian lihat konten kucing jatuh dari lemari.
Tapi lewat BAA, mindset itu mau diubah dari sekadar scroll-scroll, ke create-create, dari penonton pasif, menjadi pemain utama, dari “kuli jempol” jadi “juragan aplikasi”.
Pepatah Aceh bilang, “Bek lagee itek keu boh, tapeugot ka tapeuloeh”, jangan kayak bebek ikut-ikutan, lebih baik kita tangkap, kita olah sendiri. BAA hadir persis sebagai pancingan supaya anak muda tak cuma ikut tren global, tapi menciptakan tren baru.
Sekarang kita masuk ke inti pertanyaan kenapa Aceh bisa melesat duluan dibanding provinsi lain di Sumatera?, padahal kalau bicara sumber daya, jelas-jelas Sumatera Utara punya Medan, Sumsel punya Palembang, Riau punya minyak. Aceh? jangan salah! Aceh punya modal sosial, modal budaya, dan sekarang modal digital.
Mari kita bedah resep rahasianya ala dagelan resep pertama, pemimpin yang visioner tapi juga “nekat”. Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal bukan sekadar baca proposal lalu bilang “baiklah”. Beliau justru gaspol bikin ekosistem digital, sambil ngajak kementerian pusat turun tangan.
Ini penting, ibaratnya bikin rendang, kalau bumbunya setengah-setengah ya hambar, tapi kalau pakai santan kental, rempah komplit, hasilnya bikin nagih.
Resep kedua, kuatkan kolaborasi yang beneran kolaborasi, artinya banyak daerah suka bilang “kita kolaborasi”, tapi ujungnya cuma foto bareng lalu bubar. Nah, BAA justru nyata ada kementerian Komdigi, ada Pemkot, ada Universitas, sampai BUMN. Semua ikut nimbrung. jadi bukan cuma nasi sebungkus tanpa lauk, tapi nasi lengkap ada ayam, ada sambal, ada kerupuk.
Resep ketiga, anak muda Aceh yang sudah lapar digital, jangan salah, meski Aceh sering dilihat sebagai daerah konservatif, anak mudanya justru super kreatif. Mereka haus akan akses, ingin main di panggung Nasional, jadi begitu pintu BAA dibuka, mereka langsung menyerbu, ibarat orang yang lama puasa tiba-tiba ditawari buffet all-you-can-eat, ya langsung lahap!
Sumatera lain, awas ketinggalan!
Lucunya, kalau kita lihat tetangga-tetangga di Sumatera, justru masih sibuk dengan proyek konvensional, misalnya Palembang masih pusing sama jembatan macet, Medan sibuk debat kuliner terenak antara bika ambon atau lontong medan, Padang masih konsentrasi perdebatan “rendang asli ada kentang atau tidak”.
Sementara itu, Aceh diam-diam bikin Banda Aceh Academy, jadi, jangan kaget kalau nanti startup asal Aceh yang justru melenggang ke level nasional duluan.
Pepatah Jawa bilang, “Alon-alon asal kelakon”, tapi kalau kelamaan alon-alon, bisa-bisa kalah start sama Aceh yang sudah pasang turbo.
Bayangkan skenario lucu ini, di sebuah warkop kopi Aceh, biasanya orang ngobrol politik sambil hirup kopi Gayo. Lima tahun ke depan, bisa jadi obrolannya berubah, obrolannya lain terkait digital… “Bro, aplikasi kamu udah dapat investor seri A belum?”
“Tenang, lagi nego sama venture capital Singapura, tapi jangan lupa, malam ini kita push rank ML dulu.”
Itu artinya transformasi nyata, dari warung kopi ke warung digital. Dari “kopi darat” ke “kopi coding”.
Kalau dunia digital ini diibaratkan pertandingan sepak bola, jangan mau jadi penonton abadi di tribun, karena tiketnya mahal, capek juga teriak-teriak tapi nggak dapat apa-apa, lebih baik kita turun ke lapangan, jadi pemain, bahkan kalau bisa jadi pelatih sekalian.
Aceh sudah kasih contoh lewat BAA jadi produsen, bukan sekadar konsumen.
Kita sering dengar julukan Aceh sebagai Serambi Mekah, tapi dengan adanya Banda Aceh Academy, siapa tahu dalam waktu dekat bisa lahir julukan baru Serambi Digital Nusantara. Untuk provinsi lain di Sumatera jangan kebanyakan bengong, kalau masih sibuk debat sambal atau kuliner, bisa-bisa Aceh sudah panen unicorn digital.
Ingat pepatah lama “Siapa cepat dia dapat, siapa malas dia tamat”, oleh karena itu belajar dari Aceh, dari scroll-scroll jadi create-create, dari konsumen jadi produsen, dari penonton jadi pemain utama, karena di dunia digital, masa depan bukan milik yang kuat, tapi milik yang gesit.[****]