PERNAH nggak kepikiran kalau sebenarnya ide-ide paling kreatif itu sering lahir di kampung, bukan di kota besar? Coba ingat, makanan khas yang sekarang jadi hits biasanya berawal dari dapur emak-emak di desa. Contohnya cilok, tahu bulat, sampai kopi kekinian, semuanya lahir dari kearifan lokal yang kadang dianggap remeh. Nah, sekarang bayangkan kalau semua potensi lokal itu bisa “didorong turbo” dengan bantuan big data. Weleh, bisa bikin produk kampung mendunia tanpa harus pakai jampi-jampi dukun marketing.
Pepatah lama bilang, “Tak kenal maka tak sayang, tak dipetakan maka tak berkembang”.Itulah pentingnya data, kalau kita tahu siapa yang suka apa, kapan mereka belanja, sampai gaya hidup mereka, maka produk kreatif daerah bisa diposisikan pas di hati konsumen. Big data ini ibarat Google Maps buat pelaku ekonomi kreatif. Tanpa data, kita cuma muter-muter kayak orang nyari alamat rumah mantan.
Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, dalam rilis resminya dilaman ekraf, bilang begini riset berbasis data itu penting banget buat mendorong 17 subsektor ekonomi kreatif.
Menurutnya, pemetaan pasar dan perilaku konsumen bisa jadi “motor turbo” untuk industri kreatif dari daerah sampai global. Bahkan, data ini juga jadi dasar Indikator Kinerja Utama (IKU) Kemenekraf, mulai dari pertumbuhan PDB, tenaga kerja, investasi, sampai ekspor. Intinya, tanpa data, kita kayak orang nyari alamat mantan pake mata tertutup.
Karena, ekonomi kreatif di daerah sering mentok karena masalah klasik, kurang promosi, nggak ngerti pasar, dan kalah branding sama produk luar. Padahal, kualitasnya nggak kalah, lihat saja batik Pekalongan, tenun NTT, kopi Toraja, atau kerajinan bambu dari Tasikmalaya. Semuanya punya kelas dunia, tapi sering kalah pamor sama produk impor yang cuma menang di kemasan dan riset pasar.
Di sinilah big data bisa main peran data bisa bantu memetakan tren, misalnya, orang Korea lagi demen minum kopi dengan cita rasa rempah, atau pasar Eropa lagi gandrung kerajinan eco-friendly. Kalau pelaku kreatif di daerah tahu arah angin ini, mereka bisa bikin produk lebih tepat sasaran. Pepatah Jawa bilang, “Sapa ngerti wektu lan papan, uripe ora bakal kesasar”. Artinya, kalau ngerti momentum dan posisi, rezeki nggak bakal nyasar.
Mari kita tengok negara lain yang sudah sukses menjadikan ekonomi kreatif sebagai mesin pertumbuhan. Korea Selatan misalnya. Mereka tidak hanya jual K-Pop, tapi juga kuliner, fashion, sampai drama jadi komoditas ekspor. Hasilnya? ekonomi kreatif mereka menyumbang miliaran dolar ke PDB. Kalau Indonesia bisa melakukan hal sama dengan potensi daerahnya, drama Minang, fashion Dayak, atau musik tradisional Bugis yang dibungkus modern, bisa jadi Korea Selatan malah belajar dari kita.
Thailand juga jago, mereka sukses jualan Thai street food dan spa wellness dengan branding yang konsisten, padahal kalau di kampung kita, pijat tradisional juga nggak kalah tokcer. Cuma bedanya, mereka tahu cara jualan pakai data, siapa targetnya, tren wisata dunia ke mana, sampai promosi digitalnya mantap. Kita? kadang masih pakai strategi “yang penting upload ke Facebook grup RT”.
Banyak orang daerah takut duluan dengar kata “big data”. Kayaknya rumit, penuh kode, kayak film hacker. Padahal sebenarnya sederhana, data itu cuma catatan tentang perilaku manusia. Contoh warung pecel lele tahu kalau jam 8 malam pelanggan rame, itu juga data. Bedanya, kalau pakai big data, skalanya bisa nasional bahkan global.
Buatan Indonesia
Jadi bukan cuma tahu siapa yang doyan sambel ekstra pedas di RT sebelah, tapi juga siapa saja di Eropa yang lagi nyari sambal buatan Indonesia.
Big data itu kayak gosip ibu-ibu komplek, bedanya, gosip ini akurat, bisa diverifikasi, dan justru bisa dipakai untuk naikin omzet. Jadi jangan takut, justru pelaku kreatif daerah harus gandengan tangan sama pemerintah, asosiasi riset, dan platform digital biar bisa pakai data dengan cerdas.
Kita sering minder, merasa produk luar negeri lebih keren, padahal, dunia justru lagi cari sesuatu yang otentik, unik, dan punya cerita. Anak muda Eropa dan Amerika bosan dengan produk yang seragam. Mereka cari rasa, cerita, dan identitas baru. Nah, produk kreatif daerah punya itu semua. Tinggal dibungkus dengan strategi promosi yang berbasis data biar nggak salah sasaran.
Pepatah Sunda bilang, “Mun teu meunang ku gagah, meunang ku akal”, kalau nggak menang modal besar, ya menang strategi. Big data adalah akal sehat digital yang bisa bantu daerah kita nggak cuma jadi penonton, tapi juga jadi pemain utama.
Big data bukan sekadar tren teknologi, buat ekonomi kreatif daerah, ini adalah jalan tol menuju pasar global. Dari kuliner khas, fashion etnik, kerajinan tangan, sampai musik tradisional, semua bisa naik kelas asal tahu cara membaca data. Pemerintah sudah buka pintu lewat kolaborasi dengan PERPI dan NielsenIQ, tinggal sekarang, pelaku kreatif daerah harus berani melangkah.
Ingat, “Air tenang menghanyutkan, ide lokal bisa mengguncang dunia”, jangan biarkan produk kreatif daerah cuma jadi oleh-oleh di terminal, dengan data, ia bisa jadi komoditas ekspor yang membanggakan Indonesia di mata dunia.
Jadi, buat pelaku kreatif di daerah, jangan takut sama data, jangan minder sama produk luar, dan jangan berhenti berinovasi, sebab pasar global sudah menunggu, tinggal kita berani melangkah.[***]