“Ilmu tanpa akhlak itu kayak robot AI tanpa colokan listrik, pintar, tapi nggak bisa nyala” – (kata orang bijak sambil ngecas HP di warung kopi).
MARI kita mulai dari pertanyaan paling fundamental. Kenapa negara seperti Indonesia yang populasinya segede koloni semut di toples gula, masih suka ‘kepleset’ tiap kali ngomongin Artificial Intelligence alias AI?
Padahal, kalau dipikir-pikir, potensi kita itu nggak main-main. ASEAN aja diramalkan bisa nyumbang USD 120 miliar dari ekonomi digital tahun 2027, wahhh luar bisa!!, dan Indonesia ditargetkan jadi penyumbang 40 persennya. Angka itu cukup buat beli gorengan buat seluruh warga ASEAN selama 3 tahun!
Nah, kabar baiknya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mulai pasang niat baik nih. Bukan cuma niat 17-an atau niat diet Senin depan, tapi niat membangun ekosistem AI nasional lewat simpul strategis di kawasan industri.
Dan siapa yang jadi highlight? Batam!
Yoi bro, hebat bukan!? duh, bikin iri daerah lain!, kota yang sering dikira Singapura KW ini ternyata lagi naik daun, bukan cuma karena ferry-nya, tapi karena potensinya di dunia manufaktur dan teknologi.
Wamenkomdigi Nezar Patria udah bilang, “Batam ini garda terdepan”. Dan itu bukan cuma basa-basi sambil nunggu makan siang. Batam emang punya potensi besar. Dia ibarat buffering YouTube, kalau lancar, semua senang. Kalau ngadat, bisa bikin kesel satu ASEAN.
Tapi tentu saja, perjalanan menuju kejayaan AI ini nggak semulus kulit influencer Korea.
Nezar ngasih warning, kita masih punya PR, antara lain Infrastruktur digital, SDM yang siap tempur dan Riset yang jangan cuma jadi dokumen fotokopi di rak kementerian.
Sementara Malaysia udah 80% 5G, kita masih ‘main ular tangga’ di bawah 5%., he..he mirip temen kos yang udah punya motor listrik, sementara kita masih nebeng ojek online tiap pagi.
Solusinya?. Lahirlah rencana AI Talent Factory. Bukan pabrik bikin robot semata, tapi pabrik bikin otak manusia makin encer.
Program ini, adalah kolaborasi antara pemerintah, kampus, industri, dan lembaga riset semacam boyband lintas genre, sehingga diharapkan kalau bisa sinergi, hasilnya bukan cuma nyanyi bareng, tapi juga bikin lagu hits yang bisa dinikmati bareng rakyat.
Tentunya hal ini sangat penting, karena percuma punya server AI segede lemari es kalau yang ngoperasikan masih ngeklik ‘next’ pas install Windows.
Eropa juga sebenaranya pernah bingung..bro, tapi mereka nyadar diri, contoh dari negeri orang? Estonia, negara kecil, mantan anak kos Uni Soviet ini, yang sekarang udah jagoan digital.
Mereka bangun ekosistem AI bukan karena duit numpuk, tapi karena niat, konsistensi, dan kopi panas tiap malam buat para programmernya. Bahkan Estonia ini juga punya prinsip “Think big, start small, move fast”.
Arti Secara Harfiah Think big = Pikirkan hal besar, punya visi jangka panjang, jangan takut bermimpi besar. Start small = Mulai dari langkah kecil, sederhana, jangan tunggu semuanya sempurna dulu. Dan Move fast = Bergerak cepat, jangan kelamaan mikir, eksekusi langsung dan belajar sambil jalan.
Nah, motivasi itu bisa kita ambil dan cocok banget buat Indonesia yang kadang mikirnya gede [“Kita harus jadi pemain global!”], tapi eksekusinya masih nunggu anggaran cair.
Ikutilah pepatah kampung ini, karena relevan global “Orang yang mau jadi pandai, harus belajar di mana ada lampu. Tapi kalau nunggu PLN, ya belajar aja dulu di bawah cahaya hati”.
Maknanya?. Yuk, jangan nunggu semuanya sempurna. Jalanin aja dulu!
AI bisa berkembang sambil kita benahi SDM, infrastruktur, dan kolaborasi.
Kalau kata Andrew Ng, tokoh AI dunia, “AI is the new electricity”. Kalau kita lambat menguasai AI, itu sama aja kayak negara yang baru nyambung listrik pas dunia udah pakai tenaga surya.
Mari sama-sama camkan, kesimpulannya kita ini negara besar. Warganya kreatif, tahan banting, dan punya kemampuan adaptasi luar biasa. Dari jadi tukang servis HP, gamer, sampai pengusaha online. Tinggal dikasih jalan dan akses yang merata, AI itu bukan mimpi, tapi teman sehari-hari.
Bayangkan 2030, bukan cuma robot bisa nyapu, bisa pacaran, tapi masyarakatnya bisa ngoding sambil nyapu!. Keren, kan?
Kalau hari ini AI baru dibicarakan di forum FGD dan seminar, maka besok harus sudah masuk ke dapur sekolah, pesantren, warung kopi, dan ruang kuliah.
Karena masa depan AI Indonesia itu bukan di awan server, tapi di tangan bocah-bocah Batam yang sekarang lagi main robot-robotan sambil nanya, “Pak, ini bisa dikasih chip AI nggak?”. Salam dari masa depan, yang isinya bukan cuma robot, tapi juga harapan.[***]