Agribisnis

Tuna Pole & Line, Bukan Pole & Emosi!

kkp

Sumselterkini.co.id, -Di tengah hingar-bingar Seafood Expo Global 2025, Indonesia hadir bukan cuma bawa brosur dan baju batik lengan panjang yang bikin gerah, namun  juga bawa misi nunjukin ke dunia kalau menangkap ikan itu bisa pakai etika, bukan cuma logika dagang. Bukan dengan jaring monster yang nyapu satu generasi biota laut, tapi pakai pole & line dan handline cara lama yang kembali naik daun karena satu kata berkelanjutan.

Tapi jangan salah kira. Ini bukan soal tuna kaleng biasa. Ini tentang tuna-tuna yang ditangkap dengan penuh tata krama. Tuna hasil mancing satu-satu, atau yang bahasa kerennya pole & line dan handline. Bukan pakai jaring besar yang narik ikan, sampah, dan kadang nasib buruk nelayan sekaligus. Bukan pula pakai bom, listrik, atau alat tangkap yang cuma bikin laut kapok

Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Tornanda Syaifullah, tegas bilang bahwa “produk tuna Indonesia yang beredar di pasar global itu mengutamakan keberlanjutan.” Bahasanya memang diplomatis, tapi maksudnya sederhana “Laut kita itu bukan lumbung tanpa dasar. Kalau terus diambil tanpa mikir masa depan, ya habis. Kayak cinta yang terus ditagih tapi nggak pernah diberi kejelasan.”

Makanya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) lewat Permen KP Nomor 36 Tahun 2023, bikin aturan yang lebih lengkap dari manual perakitan lemari IKEA.

Semua diatur dari ukuran kapal, jalur operasional, sampai syarat teknis alat tangkap. Yang main curang langsung “offside”, bukan sekadar ditegur tapi bisa dicabut izinnya.

Regulasi ini bukan semata-mata demi gengsi di mata dunia, tapi biar nelayan kita tetap punya laut untuk diwariskan ke cucunya nanti. Soalnya, jangan sampai cucu nelayan nanti cuma bisa cerita, “Dulu, ada ikan namanya tuna. Sekarang tinggal di museum.”

Kalau ada yang bilang Indonesia baru mulai, jangan minder. Negara lain pun butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa mengelola perikanan berkelanjutan dengan benar. Tapi kita bisa belajar dari mereka. Nih, contohnya

Maladewa (Maldives), negara mungil di Samudera Hindia ini sudah puluhan tahun konsisten pakai pole & line. Nelayan lokal menangkap tuna satu-satu sambil nyanyi lagu laut. Ekspor jalan, laut tetap bersih, dan turis tetap datang nyelam. Modelnya bukan cuma lestari, tapi juga laku keras di pasar Jepang dan Eropa.

Selain itu Basque Country, Spanyol, wilayah kecil di utara Spanyol ini punya sistem perikanan selektif yang dipantau ketat. Mereka pakai kapal kecil dengan sistem pelacakan canggih. Nelayan di sana bisa tahu ikan mana yang boleh ditangkap dan mana yang belum saatnya. Ibarat hubungan, ini kayak tahu kapan waktunya nembak dan kapan waktunya nunggu restu mertua.

New Zealand, negara punya peraturan ketat bukan main. Pasalnya kuota penangkapan dihitung dengan algoritma yang lebih kompleks dari rumus ujian nasional. Tapi hasilnya bisa nyata,  laut tetap lestari, nelayan tetap untung, dan reputasi mereka di pasar global lebih harum dari udang rebus dicocol saus mentega.

Di titik inilah pepatah lama masih bisa nyentil kita semua “Air tenang jangan disangka tak ada ikan, tapi kalau serakah nyerok terus, akhirnya tinggal ampas”.

Indonesia sudah memilih jalur yang benar, tapi jalur benar itu bukan jalan tol bebas hambatan. Perlu komitmen, pengawasan, dan kadang juga keberanian buat menolak buyer yang cuma mau murah tanpa peduli laut rusak.

Maka forum diskusi seperti IPNLF’s Vision for the Future Event di ajang SEG itu penting. Di sanalah dialog bukan cuma soal harga, tapi juga tentang traceability (ketertelusuran), transparansi, prinsip HAM, dan nilai-nilai keberlanjutan.

Dunia makin percaya

Di tahun 2024, ekspor tuna Indonesia mencapai USD 1,03 miliar, naik 11,6% dari tahun sebelumnya. Artinya, dunia makin percaya pada produk RI.

Namun  tantangannya juga makin besar sebab  negara-negara Eropa makin cerewet soal asal-usul ikan. Mereka bukan cuma mau tahu “ikan ini ditangkap di mana?”, tapi juga “siapa yang nangkap, pakai alat apa, nelayannya dibayar layak atau nggak?”

Dan syukurnya, RI sudah mulai siap dengan semua itu. Mulai dari sertifikasi MSC, BRC, HACCP, sampai SHTI, semua dirancang bukan buat gaya-gayaan, tapi untuk meyakinkan bahwa ikan kita benar-benar hasil dari sistem yang clear, clean, and conscious.

Tuna bukan sekadar komoditas. Ia adalah bukti bahwa kita bisa jadi bangsa yang mengekspor hasil laut tanpa mengekspor kerusakan lingkungan. Bahwa kita bisa jadi bangsa yang menjual protein tanpa menjual prinsip. Bahwa laut kita bisa jadi mesin ekonomi tanpa jadi korban kerakusan.

Jadi lain kali kalau makan sushi di restoran Jepang, atau makan sandwich tuna di bandara Dubai, atau beli abon tuna di e-commerce Eropa, semoga kamu senyum tipis dan berkata dalam hati. “Ini bukan sekadar tuna. Ini laut nenek moyangku yang sedang bertutur.”

Dan siapa sangka, cara mancing tuna satu-satu bisa jadi jalan keluar dari kerusakan yang massal?, karena kadang, solusi besar dimulai dari kail kecil yang diayun dengan niat tulus.

Kita hidup di era ketika segala hal serba instan mie, cinta, bahkan berita bohong, tapi keberlanjutan tidak bisa instan. Ia butuh proses, butuh prinsip, dan terutama butuh kesabaran.

Menjaga laut tidak cukup dengan slogan, tapi dengan kebijakan yang jalan. Tuna yang kita ekspor hari ini adalah hasil dari kerja keras, pengorbanan nelayan, dan keberanian pemerintah untuk berpihak pada masa depan.

Karena laut bukan warisan nenek moyang yang bisa diobral, tapi titipan anak cucu yang harus dikembalikan dalam keadaan hidup dan berenang. Kita tidak bisa terus berpikir pendek, sependek waktu microwave memanaskan nasi dingin. Kita perlu visi panjang, sejauh ikan tuna melintasi Samudra Hindia ke Pasifik tanpa GPS.

Maka kalau hari ini kita memilih pole & line dan handline, itu bukan karena kita gaptek atau kehabisan teknologi. Justru karena kita paham alat sederhana, kalau digunakan dengan ilmu dan niat baik, bisa menyelamatkan dunia, seperti kata orang tua di kampung
“Orang pintar mancing ikan, tapi orang bijak menjaga kolamnya.”

Dan Indonesia hari ini sedang belajar jadi yang kedua. Jadi jangan malu menyodorkan tuna kita ke dunia. Angkat tinggi, bilang dengan bangga “Ini hasil pancingan kami bersih, beretika, dan berkelanjutan.”

Sebab siapa tahu, dari pancing satu-satu itulah, kita pelan-pelan bisa menarik dunia untuk percaya bahwa Indonesia bukan cuma jago mancing ikan, tapi juga jago mancing asa.

Dan jika suatu hari kita lihat juga pole & line dan handline mulai dilirik dunia, itu pertanda bahwa cara lama belum tentu ketinggalan zaman. Justru di tengah gempuran industri yang serba “besar, cepat, brutal” cara-cara tradisional yang manusiawi malah jadi primadona. Karena dunia mulai sadar yang dibutuhkan bukan kapal raksasa, tapi kesadaran kolektif untuk menangkap ikan tanpa merusak laut dan nurani.

Indonesia bisa jadi bintang panggung jika hal itu konsisten, kanapa ? karena Indonesia  punya laut, punya nelayan tangguh, dan punya cerita.

Cerita tentang bangsa yang memilih menjaring harapan, bukan merampas isi laut. Cerita tentang ekspor yang bukan hanya bicara dolar, tapi juga etika dan ekologi. Cerita tentang tuna yang berenang bebas, bukan tuna yang ditangkap paksa di ujung kehancuran ekosistem.

Kalau selama ini Indonesia dikenal sebagai negara yang “jago mancing,” mari buktikan kita juga jago menjaga tempat mancingnya, jangan sampai anak cucu kita nanti cuma bisa lihat ikan dari stiker di kaleng, sambil bilang, “Nek moyangku seorang pelaut, tapi yang diwariskan cuma nostalgia dan plastik,” ha hay…!!, Nah kan, masa iya kita rela sejarah Indonesia hanya  berakhir di etalase supermarket? coba habis baca ini kalimat teakhir mulai renungkan.!!.[***]

Terpopuler

To Top