Agribisnis

Pizza Udang & Mimpi Emak di Dapur

kkp

Sumselterkini.co.id, – Di negeri yang katanya dikelilingi laut dari Sabang sampai Merauke, hidup udang-udang yang nasibnya lebih elite dari sebagian rakyatnya.

Bayangkan, di tengah gemuruh ombak dan tambak yang berjajar sepanjang pesisir, harga udang tetap bikin rakyat ngelus dada sambil bisik, “Sabar ya, perut…”.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah putar otak, dari bazar bulanan sampai workshop pizza udang. Kampanye Gemarikan digelar terus-terusan, ibarat suami ngajak istri diet tiap hari niatnya bagus, tapi lauknya tetap tempe goreng. Udang tetap tampil di brosur, tapi enggan mampir ke piring rakyat.

Katanya, “Udang fleksibel dikreasikan!”
Betul, Pak Dirjen. Tapi yang lebih fleksibel justru emak-emak di pasar. Mereka bisa dengan cepat mengganti udang dengan tahu isi, telur dadar, atau kadang cukup kecap plus doa. Soalnya harga udang sekarang sudah kayak nyicil motor butuh rencana matang, tabungan, dan niat bulat.

Mau makan dimsum udang? Harus sabar ngantre promo online.
Mau bikin pizza udang? Listrik token aja kadang nyedot lebih dulu.
Mau goreng ebi furai? Lha, beli minyak goreng aja masih nunggu diskon.

Ini negeri laut, tapi kadang rakyatnya berasa hidup di gurun gizi. Di Jepang, anak SD dikasih pelajaran gizi dan sushi jadi makanan mingguan.

Di Norwegia, hasil laut disubsidi biar semua rakyat bisa makan salmon, bukan cuma CEO tambang. Kita? Kadang makan tahu bulat juga harus mikir dua kali goreng sendiri atau beli lima ribu dapet enam.

KKP memang boleh bangga katanya tahun 2023, konsumsi udang nasional rumah tangga tembus 242 ribu ton. Tapi kalau dipecah, kemungkinan 200 ribu ton-nya dimakan restoran all-you-can-eat, sisanya dimakan sepupu-sepupunya pejabat. Rakyat? Paling mentok nyicip kerupuk udang rasa angin.

Ekonomi biru sedang digadang-gadang katanya ini solusi hebat, tapi hati-hati, kalau tidak dibarengi niat pro rakyat, ekonomi biru itu seperti lukisan di galeri seni modern mahal, abstrak, dan cuma bisa dinikmati orang kaya.

Jangan sampai bazar udang rutin seperti konser dangdut keliling meriah, tapi cuma penonton VIP yang bisa joget dekat panggung. Rakyat yang di belakang cuma bisa dadah-dadah sambil makan kacang.

Udang itu bukan hanya soal rasa gurih, tapi soal rasa keadilan. Di negeri seluas samudera, jangan biarkan rakyat hanya bisa makan sisa gelombang. Kalau nelayan bisa tangkap udang, kenapa rakyat cuma bisa nangkap promo?

Mari kita ubah pepatah
“Ada udang di balik batu,” jadi “Ada udang di balik subsidi.”
Biar udang tak lagi jadi legenda meja makan, tapi nyata tersaji di atas nasi hangat bukan sekadar angan-angan emak-emak saat lihat poster Gemarikan.

Jadi kampanye makan udang harus diikuti dengan kampanye harga udang yang masuk akal bukan cuma memasyarakatkan makan ikan, tapi juga memurahkannya.

Udang memang primadona laut, tapi jangan biarkan rakyat cuma bisa menatapnya lewat etalase beku minimarket, mari jadikan udang bukan sekadar komoditas ekspor, tapi juga simbol keberpihakan negara pada konsumsi gizi yang adil karena di negara maritim, rakyat yang tak bisa makan udang, itu seperti petani tak mampu beli beras.

Udang bukan sembarang lauk. Tapi kalau rakyat harus mikir dua kali sebelum beli, lebih baik makan tempe sambil merem. Kampanye gemarikan jadi terasa seperti undangan nikahan mewah yang cuma buat kalangan terbatas.

Rakyat cuma jadi tamu yang ngintip dari luar tenda sebelum udang dijadikan bintang di panggung global, pastikan dulu dia bisa tampil di dapur emak-emak. Ironis, tapi nyata.[***].

Terpopuler

To Top