Obyek Wisata

Menapaki Kabut, Menemukan Diri, Ketika Langkah Kaki Berdamai dengan Alam di Dieng Caldera Race

kemenpar.go.id

Sumselterkini.co.id, – Kalau hidup itu ibarat lari, maka Dieng Caldera Race adalah jenis pelariannya yang bukan cuma bikin ngos-ngosan, tapi juga bikin baper dan sadar diri. Bayangkan saja di satu sisi kaki ngibrit nanjak bak dikejar mantan yang belum move on, di sisi lain mata dimanjakan oleh panorama yang bisa bikin orang galau langsung insaf. Ini bukan sekadar lomba lari, ini adalah pelarian spiritual bertabur oksigen dan kabut cinta dari alam semesta.

Di Dataran Tinggi Dieng, tempat di mana langit terasa lebih dekat dan sinyal HP lebih sering putus nyambung kayak hubungan LDR, ratusan bahkan ribuan pelari dari berbagai penjuru dunia berkumpul. Bukan cuma untuk memburu garis finish, tapi juga mengejar jawaban apa makna dari melangkah di tengah sunyi dan sejuknya alam yang mistis ini?.

Berlari di Dieng itu seperti menulis surat cinta kepada alam pakai sepatu trail dan keringat yang menetes satu-satu. Jalurnya melewati perkebunan teh Tambi yang hijau segar, lalu menembus kabut seputih janji pengantin baru. Kadang ada lembah yang dalam, kadang tanjakannya bikin napas nyangkut di leher. Tapi entah kenapa, semua kelelahan itu terasa puitis.

Di sinilah kamu akan sadar, bahwa kabut itu bukan untuk disesali karena mengaburkan pandangan, tapi justru untuk diajak berdamai, seperti masa lalu yang kita peluk walau tak bisa kita ulang.

Buat yang baru nyemplung ke dunia lari, ada jalur 10K Fun Trail. Yang udah setengah profesional bisa ambil 25K. Dan yang merasa jiwanya setara dengan Wolverine, bisa nyobain 45K atau 85K Ultra Trail, di mana tanjakan itu bukan cuma bikin pegal betis, tapi juga hati, karena setiap langkah seperti tanya, “Ngapain sih aku di sini?”.

Tapi itulah keajaiban Dieng Caldera Race tak ada yang terlalu kuat, tak ada yang terlalu lemah. Setiap orang punya cerita masing-masing, dan Dieng mendengarnya dengan angin, kabut, dan pelukan udara dingin yang menusuk sampai tulang rusuk.

Warga lokal Dieng itu seperti nasi goreng kampung di pagi hari sederhana, hangat, dan bikin kangen. Di sepanjang jalur, anak-anak bersorak seperti komentator dadakan, emak-emak ngasih pisang dan air dengan senyum ikhlas, dan penginapan warga berubah jadi rumah kedua yang tak pernah dijanjikan, tapi selalu ditunggu-tunggu.

Pelari datang sebagai tamu, pulang sebagai keluarga. Dieng bukan cuma destinasi, tapi pelukan ibu yang menyambut siapa pun yang datang, bahkan yang hatinya sedang patah.

Kalau kamu pikir Dieng cuma tempat dingin dan kentang rebus, maka kamu belum pernah lihat sunrise di Bukit Sikunir. Sinar keemasan yang muncul pelan-pelan di balik Gunung Sindoro itu lebih indah dari notifikasi transferan masuk. Dan sunsetnya? Seperti lagu perpisahan yang tenang tapi dalam mengingatkan bahwa setiap hari pasti ada akhir, tapi juga selalu ada awal baru.

Apalagi setelah lelah lari, kamu bisa ke Telaga Warna yang airnya berubah warna sesuai pantulan cahaya. Mirip-mirip mood kita saat nunggu chat balasan dari gebetan yang aktif online tapi nggak bales.

Dieng Caldera Race itu bukan tentang siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling jujur pada dirinya sendiri. Lari di sana mengajarkan bahwa kadang kita harus tersesat di kabut untuk tahu arah pulang, harus lelah agar tahu nikmatnya istirahat, dan harus naik tanjakan untuk melihat betapa indahnya dunia dari ketinggian. Orang bilang lari itu olahraga. Tapi di Dieng, lari adalah meditasi dengan sepatu, refleksi diri yang berdetak dalam ritme napas dan langkah.

Di tengah deru promosi pariwisata dan tren sport tourism, Dieng Caldera Race hadir bukan sebagai lomba, tapi sebagai ritus pertemuan antara manusia dan semesta. Ia bukan hanya menumbuhkan ekonomi lokal, tapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa kita ini kecil, tapi bisa jadi besar, kalau kita cukup nekat untuk melangkah, meski tanjakan di depan terlihat seperti ujian hidup semester akhir.

Dieng tidak menjanjikan kemudahan, tapi selalu menyuguhkan keindahan. Dan dalam tiap langkah yang tertatih, selalu ada ruang untuk pulih, tertawa, dan mengucap syukur. Jadi, kalau kamu ingin lari dari penat hidup larilah ke Dieng. Di sana, kamu tak hanya menemukan pemandangan… tapi bisa jadi, kamu akan menemukan dirimu yang sempat hilang.[***]

Terpopuler

To Top