Sumselterkini.co.id, – Di bawah terik mentari Makkah yang menyengat, panasnya bukan kaleng-kaleng, bisa bikin kulit keriput dalam seminggu dan air mata netes tanpa sebab, seorang pria berseragam PPIH berlari kecil menyeberangi jalan. Bukan untuk mengejar bus haji yang salah rute, bukan pula sedang terburu-buru ikut tawaf tambahan, tapi karena di pelukannya, ada seorang jemaah lansia yang tubuhnya lunglai, seperti cucian basah yang lupa diperas. Ia stroke, bingung, dan diturunkan di hotel yang bukan tempatnya menginap.
Pria itu bukan sopir bus, bukan porter hotel, apalagi duta besar. Dia Irjen Kemenag, Khairunas, yang biasanya sibuk dengan laporan dan evaluasi, kini menjelma jadi pelayan kemanusiaan dalam bentuk paling tulus pelukan. Lupakan jabatan, ini bukan soal pangkat, tapi panggilan nurani. Sebab, di tanah suci, kadang pelayanan terbaik bukan soal sistem, melainkan soal siapa yang mau turun tangan, bukan sekadar menunjuk tangan.
“Saya juga lagi sakit, masih minum obat,” katanya. Tapi toh, kalau nurani sudah bicara, rasa lemas pun kalah suara. Seperti petani yang tetap membajak sawah walau bajunya bolong dan air matanya nyangkut di ujung topi.
Ada yang bilang, di Mina dan Jamarat, jemaah haji itu seperti semut dalam parade semangat, sabar, dan saling dorong dalam doa. Tapi urusan logistik, wah, kadang seperti nonton sinetron episode ke-107 sudah ketebak tapi tetap bikin naik darah. Jemaah diturunkan bukan di hotelnya, seperti anak kecil diturunkan di rumah tetangga yang bukan keluarga.
“Ini kelalaian syarikah!” seru Khairunas, sambil mencatat di atas clipboard batinnya. Mungkin dalam hati dia menambahkan kok bisa-bisanya sistem sekompleks haji, masih ngasal naruh orang kayak supir ojek baru di Palembang yang nyasar ke Muara Enim.
Lucunya, ini bukan kejadian satu-dua kali. Padahal, syarikah itu tugasnya membantu, bukan malah bikin jemaah bingung seperti ditinggal rombongan pengajian di halte terminal. Kapan koordinasi berubah jadi teka-teki silang, kami pun tak tahu.
Yang membedakan pemimpin sejati dengan pejabat selfie adalah siapa yang rela berkeringat di barisan terdepan, bukan hanya di barisan foto. Di tengah ribuan jemaah yang letih, orang seperti Khairunas jadi teladan bukan sekadar jadi penonton yang menyalahkan skenario, tapi ikut main di panggung.
Ada banyak petugas haji yang bekerja dalam diam. Mereka siaga di bawah panas, tegak berdiri saat jemaah minta dipapah, dan tetap tersenyum meski kaki sudah pegal seperti habis ikut lomba gerak jalan. Di sinilah haji menemukan makna horizontalnya antara manusia, sesama hamba yang saling menguatkan.
Khairunas memang inspektur, tapi inspektur bukan hanya tugas menginspeksi formulir dan absen. Ia melihat, mencatat, dan merasakan. Ketika syarikah menurunkan jemaah sembarangan, itu bukan cuma salah teknis, tapi bisa berdampak pada nyawa. Maka tak heran, ia ingin itu jadi evaluasi keras, karena kalau pelayanan haji hanya soal tender dan teknis, ya kita tinggal bikin rapat, bukan ibadah.
“Ke depan ini jadi bahan rekomendasi,” katanya tegas, di balik kata rekomendasi, ada suara hati jangan main-main dengan jemaah yang sudah menjual sawah, nyicil 10 tahun, dan menabung sambil ngojek demi bisa mencium Hajar Aswad sekali seumur hidup.
Panasnya Makkah memang tiada ampun. Ia menyengat kulit, memanaskan ubun-ubun, dan kadang membuat sandal jemaah meleleh seperti es krim ditaruh di knalpot. Tapi justru di tengah suhu yang bisa bikin kompor iri, kita melihat manusia-manusia yang tetap menyalakan lentera nurani.
Kisah Khairunas yang seharusnya duduk tenang mengecek laporan dari balik meja, malah memilih berlari kecil menggendong jemaah stroke seperti bapak menggendong anak pulang dari pasar mengingatkan kita bahwa pelayanan haji bukan tentang prosedur, tapi tentang perasaan. Bukan soal seberapa tinggi jabatan, tapi seberapa dalam empati yang ditanamkan. Pelukan Khairunas pada jemaah lansia bukan hanya adegan menyentuh, tapi simbol bahwa pelayanan terbaik adalah saat jabatan tunduk pada kemanusiaan.
Tindakan kecil bisa jadi makna besar, satu pelukan bisa jadi selimut sejuk bagi lansia yang bingung. Satu keputusan turun tangan bisa menghangatkan ribuan hati yang merasa diperhatikan. Dan satu evaluasi yang tajam bisa menyelamatkan banyak jemaah dari kekacauan yang sama tahun depan.
Ibadah haji adalah puncak ritual, tapi di baliknya ada puncak pengabdian. Bukan hanya pada Tuhan, tapi juga pada sesama, ketika ada syarikah yang sembrono, menjatuhkan jemaah seperti menurunkan karung beras ke sembarang gudang, di situlah ujian pelayanan muncul.
Kita tak hanya dituntut marah, tapi juga memperbaiki. Tak hanya mencatat salah, tapi menyiapkan solusi, karena bangsa yang kuat bukan bangsa yang bebas dari salah, tapi bangsa yang cepat mengevaluasi dan terus belajar dari peluh sendiri.
Sebagaimana kata Nelson Mandela.”What counts in life is not the mere fact that we have lived. It is what difference we have made to the lives of others that will determine the significance of the life we lead”.
(Yang penting dalam hidup bukan sekadar bahwa kita pernah hidup, tetapi perbedaan apa yang telah kita buat dalam kehidupan orang lain yang menentukan arti dari hidup kita.) – [ pidato Nelson Mandela, 18 Juli 2003, yang didokumentasikan oleh Nelson Mandela Foundation].
Jadi, selama matahari masih menyala di langit Makkah, selama sandal jemaah masih berderap di jalanan Jamarat, selama ada satu petugas yang rela berlari demi satu jemaah yang lemah, maka kita tahu, ibadah ini belum selesai. Sebab ia akan terus hidup, selama masih ada pelayanan yang tulus, peluh yang ikhlas, dan cinta yang tidak pura-pura.
Di bawah langit panas Makkah, kita tak sedang sekadar membantu jemaah, kita sedang belajar arti ibadah tentang membantu mereka yang rapuh, tentang berlari kecil meski lutut lemah, dan tentang cinta yang tetap asli di tengah peluh suci. Semoga, tahun depan, bus syarikah bisa belajar membedakan hotel, dan semua jemaah bisa turun tepat sasaran, bukan jadi kontestan dadakan acara “Jemaah Tersesat Episode Armuzna”.[***]