Sumselterkini.co.id, – “Kalau ada rotan jangan pilih kawat, kalau ada Cap Bali jangan pakai yang asal lewat”. Begitu kira-kira bunyi pepatah baru yang cocok menggambarkan suasana gegap gempita Indonesia Fashion Week (IFW) 2025 yang digelar di Jakarta Convention Center.
Di tengah desiran AC yang tak kalah modis dari model di atas panggung, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif (Wamen Ekraf), Irene Umar, melenggang ke lokasi bak fashionista senior yang tak lupa membawa misi menyulut semangat jenama lokal agar tak cuma jadi cerita etalase warung oleh-oleh.
Dalam gelaran yang digagas oleh APPMI sejak 2011 ini, Irene tak hanya hadir untuk berswafoto atau nyicip canape. Beliau datang membawa pesan penting bahwa fesyen lokal jangan cuma jadi bahan status WA, tapi harus menjejak sampai ke catwalk global. “Kalau tidak ditampilkan, masyarakat tidak akan tahu kualitas produk kita,” tegas Irene.
Maksudnya, jangan berharap orang jatuh cinta kalau kita malu-malu ngasih kode. Ini dunia fashion, bukan dunia tarik-ulur perasaan.
Ronakultura Jakarta begitulah tema IFW tahun ini. Perpaduan gaya hidup urban dengan budaya lokal, semacam ketika anak Jaksel memakai kain endek sambil ngopi di rooftop. Keren, nyentrik, dan tentu saja instagrammable. Di sinilah potensi industri kreatif Indonesia berkilau. Dari Cap Bali yang membawa warna-warna merak, sampai jenama-jenama lain yang berani mencampur batik dengan gaya futuristik ala drama Korea.
Founder Cap Bali, Putu Fitri Ertaningsih, bahkan menyulap inspirasi masa kecilnya burung merak menjadi koleksi yang membuat mata penonton terpekur bukan karena silau kamera, tapi silau warna. Memang, siapa bilang yang tradisional itu ketinggalan zaman? Kalau dipoles dengan niat dan cita rasa, songket pun bisa bersanding dengan Gucci, bukan hanya di hati, tapi di hati juri-juri fashion dunia.
Deputi Bidang Kreativitas, Budaya, dan Desain, Yuke Sri Rahayu, menyebutkan bahwa fesyen adalah satu dari tiga subsektor unggulan ekonomi kreatif, bersama kuliner dan kriya. Kalau kuliner bisa bikin perut kenyang dan hati senang, maka fesyen bisa bikin dompet bunyi asal dikemas ciamik.
Coba kita tengok Korea Selatan, dulu fesyen mereka kalah glamor dari Jepang, tapi sekarang? Lihatlah Seoul Fashion Week ditunggu dunia, disorot kamera internasional, dan jadi ajang para desainer muda unjuk gigi, bukan unjuk status di Instagram saja. Bahkan, kimchi pun sekarang ada versi ready-to-wear-nya dalam bentuk motif baju!
Lalu Indonesia? Jangan sampai kita cuma jadi penonton dan komentator, “Ih bagus ya bajunya, tapi mahal…” Sementara di dapur sendiri, penjahit dan perajin lokal hanya kebagian order baju seragam arisan RT.
IFW bukan sekadar ajang fashion foto senyum. Ini adalah momentum, tempat desainer lokal menunjukkan taji, bukan sekadar menempel logo. Pemerintah sudah turun tangan, tinggal pelaku industri tak lagi ragu naik panggung.
Karena kalau kain endek saja bisa melenggang ke Paris, masa kita masih ragu pakai produk negeri sendiri? Ingat, gaya boleh Korea, tapi bahan dan budaya harus tetap Nusantara. Pepatah modern fesyen lokal.”Kalau bisa tampil memikat dengan batik, kenapa harus repot cari baju branded plastik?”.[***]