Sumselterkini.co.id, – Di Morowali, Sulawesi Tengah, bukan hanya nikel yang meleleh, tapi juga kesabaran warga dan keteguhan bumi. Bayangkan, di negeri yang katanya “Gemah Ripah Loh Jinawi”, kita malah menemukan open dumping, limbah mengalir ke laut bebas seperti cinta yang tak direstui, dan tungku meledak yang lebih seram dari petasan malam tahun baru.
Kalau kata orang tua, “Air beriak tanda tak dalam, industri ramai tapi aturan tak diamalkan.” Industri smelter nikel di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) sejatinya menjadi tulang punggung ekonomi daerah—tapi jangan sampai punggungnya bungkuk karena dibebani dosa lingkungan.
Menteri Hanif Faisol Nurofiq datang bak guru piket yang memergoki siswa bolos di kantin. Didampingi rombongan lengkap, beliau menelusuri TPA Bahomakmur dan kawasan PT ONI hingga ke PT ITSS yang dulunya viral gegara tungku meledak. Hasilnya? Lembar catatan pelanggaran tampak lebih tebal daripada skripsi mahasiswa semester tua.
Mari kita ulas satu per satu TPA Bahomakmur? Open dumping. Itu bukan istilah fashion atau kuliner baru, tapi cara buang sampah sembarangan yang bikin tanah dan air bisa ‘sakit perut’. Di PT ONI, air banjir yang mestinya dimasukkan ke sistem pengolahan limbah, malah disalurkan langsung ke laut. Laut pun menangis, tapi karena asin, kita tak bisa bedakan air mata dan garamnya.
Sedangkan di PT ITSS, ada 26 sumber emisi, tapi yang diawasi hanya ‘sebagian’. Sama saja seperti punya 26 anak tapi cuma ngasih uang jajan buat tiga. Belum lagi sejarah kelam ledakan tungku 24 Desember 2023 yang bikin 21 orang wafat itu bukan angka, tapi nyawa, rumah tangga, dan cita-cita yang hangus terbakar bersama baja cair.
Lantas, siapa yang salah? Industri tentu wajib introspeksi, karena kalau dibiarkan, Morowali bisa berubah dari kawasan industri jadi “Kawasan Instrospeksi Kolektif” tempat semua pihak merenungi dosa sambil pakai masker N95. Tapi pemerintah juga tak boleh cuma datang, cek lokasi, lalu pulang sambil bilang, “Sudah kami pantau”. Pantau itu cocok buat CCTV, bukan solusi lingkungan.
Kalau terus begini, jangan-jangan nanti muncul paket wisata “Eco-Adventure Morowali Jelajahi Lumpur Slag dan Mampir ke Tungku Ledakan”. Tiketnya gratis, bonus batuk dan iritasi mata.
Padahal, negara seperti Norwegia dan Finlandia sudah membuktikan industri ekstraktif bisa jalan bareng dengan perlindungan lingkungan. Di sana, limbah diperlakukan seperti mantan dijaga jarak aman, diolah dengan baik, dan tidak dikembalikan sembarangan.
Solusinya, pertama, semua perusahaan wajib pasang dan aktifkan Continuous Emission Monitoring System (CEMS), bukan cuma jadi hiasan kayak vas bunga di ruang direksi.
Kedua, pemerintah daerah harus aktif, jangan jadi penonton yang cuma geleng-geleng sambil bilang “Walah, parah”. Ketiga, masyarakat perlu diberi ruang dan sarana untuk melapor jangan sampai laporan warga kalah cepat dari trending media sosial/medsos. Seperti kata pepatah, “Lebih baik mencegah slag daripada mengobati krisis”
Pembangunan industri itu penting, tapi jangan sampai nikel jadi kutukan. Jangan sampai kita hanya mewariskan karat pada anak cucu. Kalau lingkungan terus dibakar demi keuntungan sesaat, nanti yang kita bangun bukan kemajuan tapi musibah berantai.
Karena bumi Morowali ini bukan ‘mordorwali’ yang gelap dan tak beraturan. Ia harus tetap hijau, lestari, dan menyala dalam arti positif bukan karena ledakan tungku, tapi karena terang masa depan yang bijak dan bertanggung jawab.[***]