Sumselterkini.co.id,- Kalau ada pepatah lama yang patut direnungkan oleh para pejabat dan pelaku industri migas hari ini, mungkin bunyinya begini. “Takkan tumbuh sumur emas di ladang orang, bila sekop dan cangkul sendiri masih dipinjam dari tetangga”.
Pepatah itu tepat betul menggambarkan kondisi pengelolaan sumber daya manusia (SDM) di sektor migas terutama di daerah kaya sumber daya seperti Musi Banyuasin (Muba). Sudah sejak zaman tiang minyak masih disapa “pompa angguk,” Muba jadi lumbung energi. Tapi SDM lokal? Seringkali cuma jadi penonton yang nyambi jaga warung kopi sebelah rig.
Kini Pemkab Muba mau bangkit dari tidur panjang. Lewat kerjasama tripartit bersama Kementerian ESDM dan Repsol Sakakemang B.V., mereka ingin melatih SDM lokal agar tak lagi cuma jadi penggembira di ladang minyak sendiri. MoA (nota kesepahaman) pun siap diteken di acara berkelas The 2nd Human Capital Summit on Energy 2025.
Tapi ingat, jangan sampai ini jadi sekadar pamer tanda tangan di backdrop mewah yang tak pernah berubah jadi aksi nyata.
Pengembangan SDM ini ibarat menanam padi di ladang sendiri. Kalau cuma siram waktu acara, pupuknya janji kampanye, dan cangkulnya disubsidi entah kapan datangnya, jangan heran kalau hasil panennya cuma rumput liat yang bikin alergi. SDM migas itu butuh pelatihan berkelanjutan, bukan pelatihan lima hari lalu dikasih sertifikat, difoto, dan diunggah pakai caption “Menuju Muba Cemerlang!”
Kita tak butuh SDM yang cemerlang di PowerPoint tapi meredup di lapangan.
Boleh saja kita girang dengan rencana kerjasama ini. Tapi pertanyaannya, sudah berapa banyak lulusan pelatihan migas dari Muba yang benar-benar diserap industri? Atau jangan-jangan, selama ini pelatihan kita lebih banyak menghasilkan ahli mengisi absensi ketimbang ahli teknik pengeboran?
Di Alberta, Kanada salah satu wilayah penghasil minyak terbesar pemerintah provinsi mewajibkan perusahaan migas untuk menyerap minimal 30% tenaga lokal dari hasil pelatihan teknis yang mereka biayai bersama.
Di Papua Nugini, model “community development agreement” mewajibkan perusahaan internasional memberikan beasiswa dan pelatihan yang dikontrol langsung oleh komunitas lokal. Hasilnya? SDM asli daerah tidak lagi cuma jadi tukang angkut galon, tapi juga teknisi alat berat dan operator panel kendali.
Muba bisa meniru. Tapi jangan hanya meniru bagian seremoni dan makan siangnya saja.
Di era sekarang, anak muda Muba lebih banyak paham algoritma TikTok daripada tekanan fluida reservoir. Tapi bukan berarti mereka tak bisa belajar. Mereka hanya belum disediakan jalur yang jelas dan konsisten. Jangan salahkan mereka kalau yang ditawarkan pemerintah cuma seminar Zoom bertema “Sukses di Era Digital” yang diisi narasumber langganan ngisi acara 17-an.
Kalau memang serius, jangan cuma buat pelatihan ketika ada event besar atau proyek masuk. Ciptakan ekosistem berkelanjutan. Libatkan SMK, politeknik lokal, dan jadikan kerjasama ini bukan sekadar MoA tapi MoAction.
Kerjasama tripartit ini langkah bagus, asal tak jadi tripartit selfie yang hanya bagus untuk portofolio pejabat. Jangan sampai MoA cuma jadi MoAlibi, karena kalau SDM lokal terus menerus jadi tamu di rumah sendiri, jangan salahkan kalau nanti ladang migas tinggal nama, dan anak-anak Muba malah kerja serabutan di kota.
Mari akhiri kebiasaan lama menanam tebu di bibir, tapi panen ilalang di ladang. Kalau betul mau SDM unggul, jangan cuma unggul di brosur pelatihan, tapi juga unggul di lubang bor migas.
Karena minyak bisa habis, tapi ilmu dan keterampilan tak pernah kering, asal diajarin serius, bukan sekadar ditunjukkan di spanduk.[***]