Industri Kreatif & UKM

Labelin Dulu Sebelum Di-Labelling-in!

kkp

Sumselterkini.co.id, – Di negeri yang katanya laut lebih luas dari darat ini, terkadang ikan lokal kita bernasib seperti mantan yang gak sempat dihalalkan sudah dibesarkan dengan kasih sayang, eh diaku-aku orang lain. Padahal, dari ujung Sabang sampai Merauke, Indonesia punya lebih dari sekadar kecantikan pantai, kita punya harta karun rasa ikan asin, garam laut, rumput laut, hingga mutiara yang kalau dijual bisa bikin dompet nggak kempes pas akhir bulan.

Masalahnya? Banyak dari produk laut dan pesisir itu belum punya Indikasi Geografis (IndiGeo), semacam akta kelahiran resmi yang bilang, “Hei dunia, produk ini milik daerah kami, lho!”

Bayangkan, Garam Amed dari Bali awalnya cuma dihargai Rp5.000 per kilogram. Tapi begitu sah punya sertifikat IndiGeo, harganya melonjak jadi Rp20.000. Gara-gara apa? Gara-gara label. Luar biasa memang kekuatan satu lembar sertifikat bisa bikin garam naik kasta, dari garam dapur jadi garam artis.

Hal yang sama terjadi pada Mutiara Lombok. Begitu dapat cap IndiGeo, harga jualnya meledak kayak saldo e-wallet pas dapet cashback. Sebab apa? Pembeli percaya, ini bukan sembarang mutiara, ini mutiara yang tahu asal-usulnya. Ibarat jodoh, makin jelas latar belakangnya, makin mantap orang ngelamar.

Tapi mari kita jujur, dibanding potensi laut kita yang luasnya bikin nelayan bisa nyasar sinyal, baru 11 produk yang resmi terdaftar sebagai IndiGeo. Padahal kalau mau dihitung, dari ikan kerapu hingga rumput laut tenggiri, kita bisa punya puluhan, bahkan ratusan produk yang siap dipatenkan.

Sementara itu, negara-negara lain udah ngebut duluan, mereka nggak mau produk khasnya ‘diembat’ pihak lain.

Lihat Prancis, misalnya, mereka bela-belain bikin aturan ketat demi Champagne. Anggur bersoda itu cuma boleh disebut Champagne, kalau lahir di kawasan Champagne sana dan diperas dari anggur di luar wilayah itu, ya maaf, paling banter disebut sparkling wine. Mau enak kayak apa rasanya, gak akan lolos jadi ‘anak resmi’.

Italia juga punya kebanggaan pada Parmigiano Reggiano dan Prosciutto di Parma. Keju dan daging asap ini diawasi seperti anak kos yang baru pertama kali merantau. Salah prosedur dikit langsung dicoret dari daftar pewaris nama besar Italia. Bahkan, toko keju di negara lain bisa disomasi kalau berani mengaku-ngaku.

Giliran ke Asia, Thailand juga gak mau kalah, mereka ngurusin beras Jasmine, gula kelapa Phetchaburi, sampai mangga Nam Dok Mai, dengan semangat kayak ibu-ibu jaga arisan. Di bungkus rapi, dikasih label resmi, lalu dipromosiin ke Eropa. Thailand ngerti branding rasa bisa jadi pemasukan negara.

India pun demikian, dari Darjeeling Tea, Malabar Pepper, sampai Basmati Rice  semuanya diproteksi, mereka gak cuma jual rasa, tapi juga cerita. Rempah jadi rebutan dunia?. Tenang, India udah pasang pagar hukum. Sementara kita, kadang masih sibuk debat ini sambel terasi Betawi apa Bangka?

Contoh paling berbusa

Contoh paling ‘berbusa’ datang dari Meksiko, mereka bela mati-matian Tequila dan Mezcal. Hanya wilayah tertentu yang boleh produksi. Bahkan pabrik di luar zona itu, meskipun pakai resep sama, gak boleh pakai nama “Tequila”. Cuma gara-gara label, Meksiko bisa naikkan ekspor dan harga jual minuman lokal mereka. Coba bayangin, kalau kita bisa lakukan hal serupa pada arak Bali atau sopi Maluku, bisa-bisa masuk etalase restoran Michelin!

Dan jangan remehkan Vietnam. Mereka bukan cuma ngurus wisata Danang atau kopi di kafe hipster. Mereka daftarkan kopi Buon Ma Thuot, saus ikan Phu Quoc, hingga lada Quang Tri sebagai GI (Geographical Indications). Mereka bahkan bikin perjanjian khusus sama Uni Eropa supaya produk Vietnam makin susah ditiru.

Lha kita? Kadang masih bingung ini ikan tenggiri punya siapa, kok tiba-tiba muncul di restoran luar negeri tapi pakai nama “Asian Sea Delight”?

Indikasi Geografis itu bukan sekadar urusan stempel atau hiasan di kemasan. Ia adalah bentuk pengakuan atas keringat nelayan, budaya lokal, dan warisan rasa yang nggak bisa digandakan begitu saja. Negara yang cerdas bukan hanya memanen hasil laut, tapi juga memanen nilai tambah dari identitas produknya.

Jangan sampai kita cuma jadi penonton di panggung dunia kuliner, sementara hasil laut kita dipentaskan orang lain dengan label palsu dan harga tinggi. Ibarat pepatah lama “Kalau bukan kita yang daftarin, ya siap-siap dilabelin sama orang”.

Jadi sebelum ikan asin kita jadi bintang di restoran luar negeri tanpa KTP daerah, yuk kita bantu mereka punya identitas yang sah. Biar nanti, kalau dunia mencicipi rasa laut Indonesia, mereka tahu persis ini dari mana, oleh siapa, dan dengan cinta budaya apa ia diproduksi. Kalau cinta saja butuh status, apalagi ikan kerapu.[***]

Terpopuler

To Top