Seni & Budaya

#Banjir Garis, Hujan Imajinasi hingga Palembang & Seni yang Tak Pernah Surut

ist

Sumselterkini.co.id, – Di kota yang pernah jadi pusat kejayaan Sriwijaya, kini garis demi garis kembali membanjiri Palembang bukan karena Sungai Musi meluap, tapi karena ledakan kreativitas dalam Bulan Menggambar Nasional. Dari Gedung Kesenian Palembang itu, tepatnya pada tanggal 21–25 Mei 2025, ratusan karya seni mengalir seperti arus deras yang tidak hanya membawa warna, tapi juga harapan, kolaborasi, dan cinta budaya.

Tema #banjirgaris bukan sekadar istilah keren..kerenan, tapi  ia menjelma menjadi gerakan sosial yang merobek sekat antara seniman profesional dan pelukis rumahan, antara anak-anak yang baru kenal pensil warna dan pensiunan yang kembali menari dengan kuas.

Seolah ingin menegaskan pepatah lama “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan, dan di ujung pensil, selalu ada mimpi yang sedang digambar.”

“Ini bukan hanya pameran, ini ruang terbuka yang jadi terapi, jadi penguat solidaritas,” kata Rudi Maryanto, Ketua Pelaksana acara. Kata-kata Rudi, seperti membangunkan kesadaran seni tidak pernah elitis, apalagi mahal.

Ia milik semua dan jika kota tak menyediakan ruang bagi seni, maka ia akan tumbuh liar di dinding-dinding yang dicoret-coret, di jalanan yang penuh amarah remaja, atau di keluh kesah digital yang kehilangan medium.

Palembang kini menegaskan diri sebagai kota inklusif, pemerintah bahkan sudah menyiapkan gedung khusus untuk Dewan Kesenian Palembang. Artinya, “Seni bukan tamu musiman”, melainkan  penghuni tetap di rumah bernama Kota Palembang, mantap!.

Staf Ahli Wali Kota, M. Sadruddin Hadjar, menggarisbawahi itu dalam sambutannya. “Apa yang kita lihat hari ini adalah bukti bahwa seni hidup dan tumbuh di tengah masyarakat Palembang.” katanya belum lama ini.

Fenomena ini tak hanya terjadi di Palembang, di Bandung punya Helarfest, ajang kolaborasi seni kreatif yang melibatkan kampus, komunitas, hingga pasar rakyat. Yogyakarta, tentu, telah lama jadi mercusuar seni rupa Indonesia, dengan ArtJog sebagai ritual tahunan yang mendunia.

Malang menghidupkan kampung-kampung warna-warni lewat mural. Makassar, dengan F8 Festival-nya, menjadikan seni bagian dari denyut ekonomi kreatif.

Di luar negeri, kota seperti Melbourne (Australia) mengangkat seni jalanan ke level prestisius dengan pengakuan publik dan kebijakan, Berlin (Jerman) mengubah tembok sejarah menjadi kanvas ekspresi,  Seoul (Korea Selatan) menyulap galeri menjadi tempat ngopi para anak muda dan Portland (Amerika Serikat) mendorong seni jadi bagian dari regenerasi kota.

Semua kota itu sadar satu hal kota tanpa seni ibarat rumah tanpa jendela pengap, gelap, dan kehilangan harapan. Kata mereka yang pernah menggambar dunia seniman kontemporer Indonesia, Tino Sidin, dulu pernah bilang dengan gaya khasnya. “Bagus… bagus…”

Kalimat sederhana itu bukan cuma pujian, tapi pengakuan terhadap proses kreatif anak-anak yang ia bimbing di TVRI puluhan tahun lalu. Ia percaya setiap goresan adalah wujud ekspresi yang sah.

Affandi, maestro ekspresionis, berkata. “Saya melukis bukan untuk mencari uang, saya melukis untuk hidup.” [Biografi Affandi, Yayasan Affandi, 2003]

Bahkan Pablo Picasso, sang revolusioner kubisme dari Spanyol, berkata “Every child is an artist. The problem is how to remain an artist once we grow up.”. [Picasso on Art, 1999]. “Setiap anak adalah seniman. Masalahnya adalah bagaimana tetap menjadi seniman ketika kita sudah dewasa”.

Maknanya cukup dalam, Picasso ingin menyampaikan bahwa sejak kecil, manusia memiliki imajinasi dan kreativitas alami. Anak-anak menggambar tanpa takut salah, mencipta tanpa ragu. Tapi saat kita tumbuh dewasa, kita mulai kehilangan keberanian itu karena tekanan sosial, norma, rasa malu, dan ketakutan akan penilaian orang lain. Tantangannya adalah bagaimana mempertahankan semangat bebas berkreasi itu meski usia bertambah dan dunia menjadi lebih rumit.

Aktivitas kreatif

Di tengah isu anak muda yang semakin jauh dari aktivitas kreatif, kegiatan seperti Yuk menggambar bareng menjadi penting. Ia bukan sekadar mengganti layar ponsel dengan kertas gambar, tapi menyambungkan empati dan energi, seperti kata pepatah Minang, “Kalau tak ada rotan, akar pun jadi” [ ketika ruang seni formal minim, komunitas menggagas ruangnya sendiri]

Dan di sinilah peran pemerintah seharusnya bukan jadi penonton, tapi fasilitator. Kota-kota dunia telah membuktikan, investasi di seni dan budaya bukan pengeluaran, melainkan tabungan bagi masa depan kota yang lebih beradab.

Bulan Menggambar Nasional bukan hanya serangkaian acara, melainkan gerakan peradaban. Di tengah dunia yang semakin bising oleh debat politik dan algoritma media sosial, seni hadir sebagai pelipur, sebagai pengingat bahwa manusia masih punya rasa, bukan sekadar nalar.

Palembang dengan #banjirgaris-nya telah menegaskan bahwa setiap goresan di atas kertas adalah bentuk kecil dari cinta kepada kota. Cinta yang jika dijaga, bisa mengalir seperti Sungai Musi tenang di permukaan, tapi dalam dan luas di hati.

Jika kota ingin dikenang, jangan hanya bangun jalan layang dan mal megah. Bangunlah ruang-ruang tempat anak-anak bisa menggambar mimpinya, sebab seperti kata seniman Belanda Vincent Van Gogh.“What would life be if we had no courage to attempt anything?”[Surat Van Gogh kepada saudaranya Theo, 1888].

Dan Palembang, lewat banjir garisnya, sedang membuktikan keberanian itu, di balik tiap garis yang tampak acak, sesungguhnya tersimpan niat, keresahan, bahkan cinta yang sulit diucapkan, dari titik-titik itulah terjalin jaringan makna, yang pelan-pelan menjadikan Palembang bukan hanya kota yang punya masa lalu megah, tapi juga masa kini yang menggairahkan.

Acara Bulan Menggambar Nasional ini menunjukkan  seni bukan milik segelintir orang yang punya galeri dan berpendidikan seni rupa, melainkan milik siapa saja yang masih bisa memegang pensil dan merasa. Anak kecil yang menggambar kucing dengan tiga kaki, ibu rumah tangga yang corat-coret sambil menunggu cucian kering, hingga pensiunan yang menumpahkan kenangan lewat cat air semua punya tempat.

Ini bukan cuma agenda seni, tapi juga pembentukan karakter kota. Kota yang baik bukan yang penuh baliho iklan, tapi yang punya ruang untuk ekspresi dan kolaborasi.

Kota yang sehat bukan yang sekadar bebas macet, tapi juga yang warganya punya tempat untuk menumpahkan imajinasi dan berinteraksi tanpa prasangka. Palembang telah memulai langkah itu. Dan semoga langkah ini tidak berhenti di ujung Mei, tapi terus berdenyut sepanjang tahun sebab seperti kalimat dari Banksy, seniman jalanan asal Inggris yang karyanya mengguncang dunia. “Art should comfort the disturbed and disturb the comfortable.”[kutipan populer Banksy, dalam berbagai mural dan wawancara).

Oleh karena itu, mari kita terus menggambar, karena barangkali, dari sebuah garis, kita bisa belajar memahami perbedaan, menyusun asa dan membangun kota yang bukan cuma layak huni, melainkan  juga layak dicintai.

Jika diibaratkan, Bulan Menggambar Nasional adalah seperti kalender seni, bukan untuk dicoret setelah lewat, tapi untuk ditandai sebagai momen yang perlu terus diulang, karena kota yang diberi ruang untuk menggambar, adalah kota yang sedang belajar mendengarkan warganya.[***]

Terpopuler

To Top