Sumselterkini.co.id,- “Kalau anak ayam kehilangan induknya, biasanya ada yang nyanyi ‘tekotek-kotek anak ayam’. Tapi kalau anak dugong hilang? Wah, ini bukan urusan lagu, tapi urusan negara.”
“Eh, ini apa? Ikan duyung? Eh, bukan. Ini kayak babi laut!”
Seorang wisatawan di Taman Wisata Alam Batu Angus, Bitung, heboh menemukan makhluk laut yang kalau difoto dari atas, mirip cucu Paus tapi sebenarnya sepupu dekat si Putri Duyung ya, si Dugong kecil.
Dugong betina malang ini terdampar, terpisah dari ibunya, luka-luka pula. Kayak anak kos nyasar ke kota besar, tak tahu arah, tak punya uang, dan tak punya siapa-siapa. Tapi untung, ini bukan FTV. Ini nyata, dan Indonesia punya KKP.
Karena setiap dilema perlu solusi, tim dari KKP, BPSPL Makassar, PSDKP Bitung, DKP Sulut, BKSDA, sampai aktivis laut dan masyarakat setempat berkumpul, kayak Avengers versi laut.
Dugong kecil itu akhirnya ditaruh di karamba milik nelayan. Bukan buat dijual, tapi buat dirawat. Ibarat bayi manusia, dia disuapi susu formula dicampur obat pereda nyeri. Bahkan lukanya dipijat pakai salep, bukan balsem ya. Klasik tapi manjur.
“Namanya juga anak kecil, kalau kangen ibunya ya pasti balik lagi ke tempat awal,” celetuk Pak Yusma, Plt. Kepala BPSPL Makassar, sambil menghela napas kayak baru pulang ronda malam.
Tim juga mengerahkan drone. Ibarat jadi Sherlock Holmes dari langit, nyari jejak sang induk di laut biru. Tapi sayang seribu sayang, drone hanya menemukan ombak dan lamun, tidak ada dugong senior berkeliaran.
“Ini kayak nyari ibu yang ninggalin anaknya di pasar,” bisik seorang warga, sambil ngelus dada dan geleng-geleng kepala.
Direktur Jenderal Kelautan, Pak Koswara, datang memberi dukungan. Katanya, penyelamatan ini adalah contoh kolaborasi ciamik. Masyarakat, wisatawan, pemerintah, semua ikut bantu. Ini bukan kerja satu dua orang, ini gotong royong bergaya laut.
“Kalau bukan kita yang jaga laut, siapa lagi? Dugong itu langka, nggak bisa cetak ulang macam koran pagi,” tegasnya.
Pak Koswara juga mengingatkan, Dugong dilindungi negara. Dia bukan bintang sirkus atau figuran sinetron. Dia simbol keseimbangan laut tropis Indonesia yang kini makin sempit ruang napasnya akibat kerusakan habitat dan ulah manusia yang hobi buang sampah seenaknya.
“Pak, saya pikir awalnya dugong itu nama makanan. Ternyata hewan ya?” tanya seorang bocah polos yang ikut nonton evakuasi.
“Iya dek, dugong itu bukan teman dugem,” jawab seorang petugas sambil nyengir, “Dugong itu mamalia laut, sepupunya manatee, makannya rumput laut, bukan rumput tetangga.”
Kasus Dugong kecil ini bukan sekadar cerita sedih satu hewan terdampar. Ini alarm. Bahwa ekosistem laut kita sedang diganggu. Bahwa laut tak sekadar biru di foto Instagram. Dan bahwa hewan laut juga butuh cinta, perhatian, dan kolaborasi nyata.
Kalau pepatah lama bilang “kasih ibu sepanjang masa,” maka hari ini kita belajar. “Kasih manusia terhadap laut, akan mengukur seberapa pantas kita disebut bangsa bahari.”
Jadi kalau nanti liburan ke pantai, dan lihat dugong nyasar, jangan selfie duluan. Tanyakan dulu
“Kamu tersesat, atau sedang mencari cinta?”
Kalau jawabannya tidak jelas, hubungi KKP terdekat. Siapa tahu kamu jadi pahlawan bagi laut yang sedang patah hati.[***]