Sumselterkini.co.id, – Di Kota Palembang, harga tomat bisa lebih sensitif dari hati mantan yang belum move on. Bayangkan saja, menurut Kepala BPS Palembang, Edi Subeno, si tomat ini jadi penyumbang inflasi nomor tiga terbesar di kota pempek.
Padahal, tomat biasanya hanya jadi penghias bakso atau sambal balado. Tapi kali ini, dia tampil sebagai aktor utama di panggung inflasi, bersama dua sahabatnya cabai dan bawang merah.
Ya, tritunggal dapur yang bisa membuat ibu-ibu meneteskan air mata, bukan karena potongan bawang, tapi karena potongan gaji tak lagi cukup belanja.
Kenaikan harga komoditas ini terjadi bersamaan dengan dicabutnya diskon tarif listrik 50 persen dan melonjaknya harga emas. Maka lengkaplah sudah penderitaan kaum emak-emak.
Bahkn inflasi seperti naik ojek online di jam sibuk, tak terbendung, mahal, dan bikin ngedumel. Tahun ini saja, inflasi Palembang sudah mendekati angka 2,5 persen dalam empat bulan.
Padahal, target nasional hanya 2,5 persen plus minus 1. Artinya, kalau tidak segera di-rem, bisa bablas kayak mobil rem blong di tanjakan Lahat.
Masalahnya bukan sekadar angka, tapi bagaimana angka itu dimengerti oleh masyarakat. Dan di sinilah Edi Subeno paham betul bahwa statistik tanpa diseminasi ibarat nasi tanpa lauk nggak nendang. Maka dari itu, ia bersilaturahmi ke Diskominfo Kota Palembang. Harapannya, angka-angka yang biasanya hanya nongkrong di Excel bisa jalan-jalan ke baliho, videotron, atau minimal jadi meme edukatif di Instagram Pemkot.
Namun, jangan biarkan BPS bernyanyi sendirian. Mereka butuh panggung, sound system, dan penonton. Karena kalau tidak, inflasi hanya akan terdengar sebagai “kenaikan angka” tanpa makna. Padahal, angka itu bisa menentukan nasib bansos, subsidi, bahkan seberapa banyak gorengan yang bisa dibeli dengan Rp10.000.
Kita bisa menengok ke Kota Bandung, yang sukses menjaga inflasi pangan lewat program urban farming, dan kolaborasi dengan petani kota. Mereka tidak hanya menanam sayur, tapi juga menanam kesadaran bahwa pangan harus dekat, murah, dan segar.
Di Bangkok, pemerintah kota bahkan punya dashboard digital yang bisa diakses warga untuk melihat harga-harga komoditas harian, lengkap dengan rekomendasi pasar termurah.
Lha kita? Masih berkutat di grup WA RT dengan foto harga tomat dari pasar lain, sambil debat apakah itu harga real atau hoaks.
Ada pepatah lama yang bilang, “Angka tidak pernah berbohong, tapi bisa menyesatkan kalau tak dimengerti.” Maka tugas kita hari ini adalah menjadikan statistik sebagai bagian dari keseharian masyarakat.
Tak cukup hanya menggelar rapat koordinasi dan press release setebal skripsi. Harus ada inovasi penyampaian. Misalnya, bikin sinetron pendek tentang inflasi, atau TikTok ala Diskominfo yang menjelaskan kenapa tomat bikin dompet menjerit.
Kepala Diskominfo Palembang, Adi Zahri, sudah memberi lampu hijau untuk dukungan total. Tapi jangan cuma lampu hijau, perlu juga pedal gas. Jika tidak, penyebaran data akan tetap stagnan seperti mobil mogok di tengah kemacetan.
Kenaikan harga tomat bukan cuma cerita pedagang pasar. Ia adalah sinyal bahwa ada sistem yang perlu ditata ulang. Pemerintah daerah harus segera bergerak, dari kebijakan pengendalian harga hingga penyebaran data yang transparan dan mudah dimengerti karena, seperti tomat di kulkas, data juga bisa basi kalau tidak diolah dan disajikan dengan baik.
Mari jadikan data bukan hanya milik ahli, tapi milik semua. Karena dengan statistik yang dipahami rakyat, kebijakan tak akan lagi terasa seperti keputusan langit yang jatuh dari awan gelap, tapi jadi jalan terang menuju pasar yang damai, dapur yang ceria, dan hidup yang lebih sejahtera.
Ingat, kalau harga tomat bisa naik dua kali lipat, maka semangat kolaborasi juga harus naik tiga kali lipat. Jangan biarkan tomat menang, dan rakyat yang jadi korban.
Dan kenaikan harga itu seperti air pasang di Musi kalau dibiarkan, bisa tenggelam perahu ekonomi rumah tangga. Maka, kendalikan dari hulu, jangan baru sibuk saat dapur rakyat sudah mulai berasap karena belanja mingguan bikin kantong sesak. “Inflasi itu seperti nyamukkalau dibiarkan, awalnya cuma gatal, lama-lama bikin demam.”.[***]