Sumselterkini.co.id, – Di sudut Palembang yang sunyi tapi tetap hidup dengan suara ketok panci dan ayam jago insomnia, hiduplah seorang lelaki tua bernama A. Rohim. Rumahnya di Jalan Teguh Kandrak RT 28 RW 10 Kelurahan Karya Jaya, Kecamatan Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan bukan rumah besar dengan gerbang besi dan CCTV. Namun cukup untuk berteduh dari hujan, tidur nyenyak, dan menampung cucu-cucu yang kadang datang cuma buat numpang Wi-Fi.
Sudah beberapa bulan terakhir, Pak Rohim tidak bisa berjalan, bukan karena lagi ikut aksi diam seribu bahasa atau ikut tantangan “tiduran 100 hari demi konten”, tapi karena tubuhnya dikuasai stroke dan tekanan darah tinggi. Kalau tensinya diukur, angkanya, wah.., bisa bikin nyesek kayak liat tagihan listrik pas AC lupa dimatikan seminggu.
Awalnya, keluarga mengira beliau hanya kecapean. Tapi lama-lama, kecurigaan muncul saat posisi tidur beliau konsisten dari subuh ke magrib, dan yang berubah cuma siaran TV.
“Pak, makan dulu…”
“Hmm.”
“Pak, mandi dulu…”
“Hmm.”
“Pak, anak sapi tetangga lahir!”
“Hmm.”
Begitulah, … hidup beliau jadi sunyi seperti sinyal HP di bawah tower rusak!.
Lantas, di hari Selasa yang entah kenapa terasa penting, datanglah tamu dari langit. Bukan malaikat, tapi Ketua Tim Penggerak PKK Palembang, Ibu Dewi Sastrani, turun dari mobil seperti bintang film, lengkap dengan rombongan ada Camat Kertapati, Kepala Dinas Sosial, dan petugas Puskesmas yang mukanya lebih tegang dari kawat jemuran putus.
“Warga lapor, katanya Pak Rohim butuh perhatian,” kata Ibu Dewi sambil melangkah masuk ke rumah.
Pak Rohim hanya melirik. Beliau pikir, ini pasti petugas survei data bansos lagi. Tapi begitu Dewi duduk dan langsung panggil petugas Puskesmas buat cek tensi, suasana jadi berubah.
“Berapa?” tanya Dewi.
“200 lebih, Bu!” jawab petugas, suara sedikit bergetar seperti mau umumkan nilai ujian nasional.
“Ya Allah, ini tensi apa kode diskon belanja online?”
Semua tertawa, kecuali tensimeter yang mau pensiun dini karena shock.
Dengan sigap, Dewi langsung menoleh ke keluarga. “Ini darurat. Saya minta izin, Pak Rohim harus dirujuk ke rumah sakit. Jangan ditunggu-tunggu. Ini bukan flu yang bisa sembuh pakai teh manis dan kipas bambu.”
Keluarga akhirnya setuju. Anak laki-laki Pak Rohim, Mas Ujang, mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Iya Bu, kami ikhlas. Yang penting Bapak bisa segera sehat.”
Namun, Dewi tahu bahwa penyembuhan tidak hanya dimulai dari rumah sakit. Ia lalu membuka bagasi mobil dan mengeluarkan tiga hadiah satu paket sembako, uang santunan, dan sebuah kursi roda mengilap, lengkap dengan bantal dudukan.
“Ini bukan hadiah, tapi harapan,” kata Dewi. “Supaya setelah ini, Pak Rohim bisa keliling halaman lagi meski pakai roda.”
Pak Rohim mencoba tersenyum. Senyum itu memang tidak simetris, tapi hangatnya melebihi nasi goreng tengah malam.
Sebelum beranjak, Dewi menepuk pundak Mas Ujang. “Jagain bapakmu baik-baik. Kadang, roda kehidupan itu bukan tentang naik atau turun. Tapi siapa yang dorong dan siapa yang rela didorong.”
Petugas puskesmas pun bersiap, kursi roda dibuka, dan Pak Rohim dengan dibantu tiga orang dan satu tenaga semangat keluarga akhirnya berpindah dari ranjang ke kursi roda. Sebuah momen yang mungkin kecil bagi dunia, tapi besar bagi seorang lelaki yang lama terkunci dalam diam.
“Pak, siap berangkat?” tanya camat sambil senyum.
Pak Rohim mengangkat jempol. Dalam diamnya, ada tawa kecil.
Dan saat mobil ambulance mulai menjauh dari gang sempit, tetangga-tetangga berdiri di pinggir jalan. Beberapa melambaikan tangan, lainnya menahan air mata. Bukan karena sedih, tapi karena sadar: ternyata, di kota ini, masih ada orang yang peduli.
Kadang, hidup kita tidak selalu bisa dikendalikan. Seperti Pak Rohim, tubuh bisa lumpuh, dan tekanan darah bisa naik lebih cepat dari harga telur. Tapi satu hal yang pasti harapan tidak pernah lumpuh. Ia tetap hidup lewat tangan-tangan yang datang memberi, lewat senyum yang tak pamrih, dan lewat kursi roda yang jadi kendaraan semangat baru.“Jangan takut hidupmu berhenti berjalan. Tak apa tak punya kaki yang kuat, asal ada hati yang masih bisa digerakkan.”.[***]