Sumselterkini.co.id ,- Di sebuah sudut tenang di Kelurahan Mangun Jaya, Kecamatan Babat Toman, berdiri sebuah rumah sederhana. Dari luar, rumah itu seperti rumah lainnya atap seng, halaman kecil, dan bau rumput basah sehabis hujan. Tapi siapa sangka, di dalamnya tinggal seorang pejuang mungil yang sedang bertarung dengan sunyi dan sesak tanpa suara perang, tanpa sorotan media.
Namanya Afifah. Usianya baru 4,5 tahun, tapi hari-harinya sudah dipenuhi oleh suara detak jantung yang tidak sempurna. Sejak umur 42 hari, ia divonis mengidap jantung bocor. Tiga kata yang terdengar ringan di mulut, tapi beratnya bisa bikin dada orang tua bolak-balik terasa seperti ditindih lemari dua pintu.
Dan hari itu, Rabu (30/4/2025), langit Babat Toman seperti ikut merunduk menyambut tamu istimewa yang datang membawa harapan. Bupati Musi Banyuasin, H. M. Toha, SH, bersama Ketua TP PKK Muba, Hj. Patimah Toha, datang menjenguk Afifah. Bukan kunjungan formal beraroma protokoler, tapi kunjungan penuh rasa yang dibungkus dengan senyum, sembako, dan amplop harapan untuk biaya pengobatan ke Jakarta.
“Kami semua mendoakan Afifah agar bisa pulih dan tumbuh ceria seperti anak-anak lainnya,” ucap Pak Bupati, dengan mata yang basah bukan karena debu, tapi karena empati yang tumpah diam-diam.
Sang ibu, Agustriani, berdiri memeluk Afifah dengan tangan gemetar. Kata-katanya sederhana, tapi penuh muatan rasa. “Terima kasih, Pak. Ini bukan sekadar bantuan, ini seperti oksigen buat hati kami yang sempat sesak.”
Suasana saat itu seperti melihat film kehidupan yang diputar lambat. Ada camat, ada kepala dinas, ada lurah, ada staf. Tapi yang paling nyata adalah rasa bahwa anak kecil ini tidak sedang berjuang sendirian.
Afifah bukan anak pejabat, bukan anak pesohor. Ia bukan trending topic, bukan headline besar. Tapi sore itu, ia jadi pusat semesta dari kasih sayang yang nyata. Kita kadang lupa, bahwa kepahlawanan bisa hadir di tubuh kecil, dengan selang di tangan dan senyum yang tetap tumbuh meski lelah menunggu.
Kalau hidup ini ibarat kapal di laut lepas, maka Afifah adalah perahu kecil yang sedang diterpa badai. Tapi datanglah kapal-kapal besar di sekelilingnya, bukan untuk pamer layar, tapi untuk jadi pelampung. Dan pelampung itu adalah tangan-tangan yang datang memberi, tanpa banyak bertanya.
Dalam diam, kita belajar. Bahwa menjadi manusia tidak diukur dari seberapa tinggi jabatan, tapi seberapa rendah hati kita mau menengok ke bawah. Bahwa cinta tidak harus diumumkan, tapi ditunjukkan. Dan bahwa kadang, harapan datang dalam bentuk sembako, senyum, dan tepukan lembut di punggung mungil.
Dalam sebuah wawancara, B.J. Habibie pernah bilang, “Tanpa cinta, kecerdasan itu berbahaya.” Maka di Babat Toman hari itu, cinta dan kecerdasan berjalan seiring, menembus sekat jabatan dan menyentuh titik terdalam dari yang paling tak berdaya.
Dan kita pun diingatkan lagi oleh pepatah lama, “Berbuat baiklah sekecil apapun, karena tak ada kebaikan yang sia-sia di mata yang Maha Kuasa.”
Afifah, dengan detak jantung kecilnya yang bocor, telah mengajarkan kita semua bahwa kasih sayang tidak pernah kehabisan jalan. Ia akan selalu menemukan celah untuk mengalir, bahkan lewat lubang kecil yang bocor di dada seorang anak.[***]