Sumselterkini.co.id, – Pagi itu Desa Kayu Labu mendadak heboh. Bukan karena ada tuyul tertangkap kamera CCTV masjid, tapi karena rombongan mobil pelat merah berhenti di depan balai desa. Warga yang biasanya ogah kumpul kalau bukan hajatan, hari itu datang pakai baju terbaik bahkan Pak Manap pakai celana bahan yang biasanya cuma keluar waktu lebaran.
“Ada apaan, Wak?” bisik Mamak Ros ke Bu Lurah yang sedang sibuk nyusun kotak konsumsi.
“Pak Bupati datang. Katonyo nak ngeluncurin program gebrak gotong royong dan digitalisasi desa,” jawab Bu Lurah pelan, tapi dengan nada seperti sedang ngumumin harga cabe naik.
Pak Bupati, H. Muchendi Mahzareki, turun dari mobil dengan senyum lebar. Di belakangnya, para pejabat dari kabupaten berjalan seperti barisan lomba gerak jalan.
Begitu mikrofon diserahkan, Pak Bupati langsung berbicara, “Warga Desa Kayu Labu, hari ini kita resmi meluncurkan Gebrak Gotong Royong dan Digitalisasi Administrasi Desa!. Dua program penting supaya desa kita nggak ketinggalan zaman, dan parit nggak penuh bungkus mi instan!”
Tepuk tangan ramai. Ada yang tulus, ada yang karena takut disorot kamera.
Dari barisan belakang, Pak Roni mengangkat tangan, “Jadi sekarang, kalau nak ngurus surat keterangan warisan, dak perlu lagi ke kecamatan, Pak?”
“Betul!” jawab Pak Bupati semangat. “Cukup dari kantor desa. Kalau Pak Kades-nya lagi sakit gigi, masih bisa ditandatangani pakai sistem elektronik!”
“Walah!” seru Pak Roni sambil nyeletuk ke temannya, “Berarti Kades sekarang dak bisa lagi pura-pura sibuk!”
Tawa pecah. Pak Kades hanya nyengir sambil ngelus perut.
“Dan mulai bulan ini,” lanjut Pak Bupati, “kita semua dari bupati, camat, sampai warga harus aktif gotong royong. Bersihkan lingkungan tiap awal bulan. Warga yang rajin, akan dikasih insentif. Yang males? Ya surat pengantar bisa-bisa masuk daftar tunggu!”
Pak Soleh nyeletuk, “Jadi dak cukup modal KTP, Pak? Harus modal cangkul jugo?”
“Hahaha, ya minimal sapu lidi, Pak!” jawab Pak Camat yang dari tadi cuma senyum-senyum.
Di tengah tawa warga, Ketua RT berdiri dan mengusulkan, “Kalau bisa, Pak, program ini disandingkan dengan lomba antar RT. Biar semangatnya dak cuma pas ada pejabat datang!”
Bu TP PKK ikut angkat suara, “Dan kami ibu-ibu siap tanam pohon. Minimal satu rumah satu bibit. Yang penting bukan bibit pertengkaran.”
Suasana jadi riuh rendah. Tapi itu tawa yang sehat. Warga merasa program ini bukan basa-basi. Ada semangat baru yang meletup, seperti minyak goreng panas yang kena air.
Malam itu, di warung kopi pinggir jalan, Pak Roni menyeruput kopi hitam sambil berkata,
“Kalau program ini jalan terus, kita bisa jadi desa paling modern se-Sumsel. Urus surat tinggal klik, lingkungan bersih, hati pun berseri.”
Pak Manap mengangguk setuju, “Iyo, Ron. Sekarang bukan zamannyo lagi minta surat pengantar pake rokok dua batang. Sekarang, yang penting rajin gotong royong dan sinyal full bar.”
Mereka tertawa bersama, lalu menutup malam itu dengan bijak. “Hidup boleh serba digital, tapi kebersihan tetap butuh tangan, bukan hanya jempol.”.[***]