OKI Terkini

Wejangan Bupati di Tengah Apel

ist

Sumselterkini.co.id, – Setiap tanggal muda, para Aparatur Sipil Negara di Ogan Komering Ilir (OKI) berkumpul seperti anak sekolah yang baru dapat tas baru. Tempatnya di halaman kantor bupati, suasananya meriah, dan kadang penuh aroma parfum yang beradu dengan semangat melayani. Tapi jangan salah, ini bukan parade mode kerja, melainkan apel bulanan sebuah tradisi yang kadang dianggap formalitas, tapi sebenarnya bisa menjadi momen strategis untuk mengatur ulang kompas birokrasi.

Bupati OKI, H. Muchendi Mahzareki, dalam apel terbaru tanggal 17 April 2025 kemarin, menyampaikan wejangan yang tak bisa dianggap angin lalu. Wejangannya bukan seperti status WhatsApp yang dibaca lalu dilupakan, tapi lebih seperti pengingat harian di kulkas: penting, konsisten, dan sebaiknya tidak di-skip.

Dalam sambutannya, Pak Bupati mengajak seluruh ASN untuk merapatkan barisan dan meninggalkan kebiasaan membentuk “geng kantor”. Karena kalau ASN sudah pecah jadi kelompok–kelompok kecil macam boyband pensiun yang bersaing manggung, maka birokrasi bisa-bisa jalan di tempat, sambil ngibrit pakai sandal jepit.

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, apel bulanan itu seperti senam demokrasi. Ia bukan cuma rutinitas, tapi ruang komunikasi antara pemimpin dan pasukan pelayanan publik. Di beberapa negara, tradisi serupa bahkan jadi fondasi penguatan integritas. Di Jepang misalnya, sebelum kerja dimulai, para karyawan rutin ikut morning briefing sambil tepuk tangan bareng tujuannya? Menyelaraskan semangat dan memastikan tak ada yang kerja sambil ngambek kayak disuruh nyuci piring.

Di Finlandia, negara dengan sistem birokrasi yang kerap dijadikan contoh, para PNS punya forum rutin untuk mendiskusikan strategi dan kendala kerja. Bukan cuma soal serapan anggaran, tapi juga bagaimana agar pelayanan publik nggak terasa seperti antre beli tiket konser Coldplay lama, penuh drama, dan kadang zonk.

Nah, kalau di OKI, apel bulanan seharusnya bisa jadi ruang sejuk tempat para ASN menanam semangat baru. Tapi tentu saja, agar tidak jadi ajang “dengar wejangan lalu pulang lupa,” maka penyampaian pesan pun mesti inovatif. Wejangan yang menggugah jiwa, bukan sekadar gugur kewajiban. Kalau bisa, diselingi humor segar, sesekali pantun, atau kuis kecil biar apel terasa seperti acara TV pagi yang bikin melek, bukan justru bikin ngantuk berdiri.

Pak Bupati juga menyentil soal loyalitas. Ini penting. Karena loyalitas ASN itu bukan cuma pada atasan, tapi terutama pada negara dan rakyat. Jangan sampai semangatnya kayak teh tawar basi ada, tapi hambar. Bupati bilang, “Boleh loyal sama atasan, tapi utama adalah kepada bangsa.” Ini kalimat yang kalau dikemas ulang bisa jadi stiker di dinding kantor: “Jangan hanya hormat ke bos, tapi juga ke rakyat yang bayar pajakmu, Bos!”

Soal keuangan daerah yang lagi ngos-ngosan, beliau juga ajak ASN gotong royong. Ini pengakuan jujur yang patut diapresiasi. Karena di zaman sekarang, pejabat yang mengakui defisit itu kayak orang ngaku dosa pas Lebaran langka, tapi bikin adem. Dan momen apel bisa jadi tempat menanamkan kesadaran fiskal secara kolektif. Misalnya, kasih tahu langsung, “Ini anggaran tinggal segini, ayo cari solusi!” biar ASN nggak kaget kalau nanti cuma dapat makan siang pakai biskuit dan teh tawar saat rapat.

Yang paling penting  jangan biarkan apel bulanan jadi monolog. Harus ada interaksi. Kalau bisa, pakai metode dialog terbuka. ASN boleh bertanya, mengusul, bahkan curhat soal printer rusak atau AC kantor yang cuma nyala di ruang kepala. Dengan begitu, apel bukan lagi tempat mendengar sepihak, tapi jadi forum mini yang menggugah, membangkitkan, dan menggerakkan.

Bayangkan jika setiap apel bisa menghasilkan satu solusi baru atau satu ide cemerlang. Wah, OKI bisa ngebut lebih cepat dari motor listrik subsidi. Apalagi kalau semangat apel bulanan ini menular ke kecamatan, kelurahan, sampai tingkat desa. Bisa-bisa tradisi ini menjelma jadi “gerakan apel nasional,” di mana ASN dan pejabat duduk bareng sambil mikir, bukan hanya selfie bareng.

Wejangan Bupati Muchendi dalam apel kemarin bukan sekadar pidato, tapi seharusnya jadi bahan bakar semangat. ASN itu seperti pengemudi ojek pelayanan kalau bensinnya habis, dia mogok. Maka apel bulanan harus jadi SPBU semangat. Isilah dengan wejangan, arah kebijakan, pengakuan kendala, dan tentu saja harapan.

Mari kita jadikan apel bulanan ini lebih segar dari buah apel Fuji, lebih bermakna dari sekadar formalitas, dan lebih membekas dari sekadar notulen kegiatan. Karena di balik apel, ada harapan. Dan di balik wejangan, ada masa depan pelayanan publik yang lebih manusiawi, jenaka, dan tentunya, OKI Maju Bersama, bukan Maju Sendirian seperti akun ghosting.[***]

Terpopuler

To Top