Sumselterkini.co.id, – Mari kita mulai pagi ini dengan secangkir kopi hitam, buatan Sumsel, tentunya. Aromanya mantap, rasanya nendang, dan yang paling penting nggak ada hubungannya sama sekali dengan tarif impor Donald Trump yang sempat bikin dunia dagang jedag-jedug.
Baru-baru ini, mantan Presiden AS Donald Trump yang memang hobi bikin gebrakan, seperti bapak RT baru yang pengen ganti seragam ronda mengusulkan tarif 32% untuk produk dari luar negeri, termasuk kopi. Namun, setelah dihitung-hitung dan mungkin disadarkan oleh penasihatnya bahwa tak semua hal bisa dikasih tarif seenaknya kayak lagi main Monopoli, angka itu dikoreksi menjadi 10%.
Tapi hei, Sumsel nggak goyah, nggak panik, bahkan nggak berkedip. Kenapa? Karena Kopi Sumsel sejatinya adalah perempuan manis yang belum sempat berkenalan sama si Paman Sam. Ekspornya lebih banyak ke Malaysia, Australia, bahkan ada katakanlah melirik Timur Tengah, jadi ketika Trump ngomel-ngomel soal proteksi, Kopi Sumsel cuma angkat alis sebelah dan balik ngaduk gula aren.
Ketua Dewan Kopi Sumatera Selatan, Zain Ismed, juga menanggapi dengan gaya adem ayem macam bapak-bapak yang lagi nyruput kopi di teras rumah. “Kita santai aja, lah. Kita ini mainnya belum sampe ke Paman Syam. Kita masih di negeri jiran, di Malaysia, Australia. Jadi kalau Trump mau naikkan tarif, kita bilang aja dengan gaya santai, silakan, kami gak ngaruh,” ujarnya, kemarin, he..he sambil tertawa kecil.
Zain Ismed bukan cuma tenang, tapi juga tahu betul medan. Petani-petani kopi di Sumsel pun ikut nyengir, karena kebijakan yang gegap gempita di Gedung Putih itu, sejatinya cuma kayak suara petasan di tengah ladang kopi kedengeran, tapi nggak bikin panik. Pengusaha kopi juga nggak buru-buru ganti strategi atau gelar rapat darurat. Mereka tetap ngopi, tetap kirim kontainer ke negeri jiran, dan tetap ngitung keuntungan.
Faktanya, kalaupun AS masih ngiler sama kopi Indonesia, maka yang paling akan “terdampak” justru masyarakat AS sendiri. Mereka harus beli kopi dengan harga yang lebih mahal karena kena tarif. Artinya, kebijakan itu mirip, seperti orang yang lagi marah terus nonjok tembok yang sakit ya tangannya sendiri. Bahasa dagangnya “senjata makan tuan”. Sebut saja bahasa pasarnya salah sendiri, siapa suruh sok-sokan ?.
Nah.. di sinilah kita sebagai bangsa harus gesit macam cewek cantik yang tahu kapan harus nyari peluang. Ketimbang sedih karena kopi kita gak masuk Amerika, mending kita tebar pesona ke negara lain yang lebih hangat, lebih terbuka, dan lebih haus kopi.
Pasar baru masih banyak. China dengan populasi miliaran dan makin melek gaya hidup. Afrika yang mulai gandrung minuman kekinian. Eropa Timur yang kini lebih terbuka dan juga tengah memandang Asia dengan mata kagum. Kita harus nimbrung di situ. Jangan kebanyakan ngelamun nunggu undangan dari Amerika, padahal banyak yang udah siap ngedate sama kopi kita.
Artinya, kebijakan Trump justru jadi pemantik semangat baru untuk promosi lebih agresif. Kita harus mulai tampil percaya diri di pameran kopi dunia, ikut kompetisi barista internasional, bahkan kirim kopi kita ke influencer Turki atau food vlogger Vietnam. Nggak usah nunggu dilirik duluan kita yang goda duluan. Toh, kopi Sumsel punya cerita yang panjang, tanah yang subur, dan cita rasa yang kaya. Tinggal dipoles, dikemas, dan dijual dengan gaya.
Jadi, kalau Trump sibuk naikkan tarif, kita sibuk naikkan omset. Kalau Trump bikin benteng dagang, kita bikin jembatan dagang. Dan kalau mereka ribet sama kebijakan dalam negeri, kita tinggal duduk manis di teras rumah sambil minum kopi Sumsel yang uapnya harum dan masa depannya cerah.
Intinya, dunia kopi ini luas. Jangan terpaku pada satu negara, bahkan belum sempat merasakan pahit-manisnya robusta kita. Ingat, cinta dan perdagangan sama-sama butuh ketegasan kalau gak dihargai, cari pasar yang lebih menghargai.
Dan terakhir, kita harus kreatif. Jangan cuma jual kopi, tapi jual cerita. Jual kisah petani dari lereng Bukit Barisan, jual suasana pagi di kebun kopi, jual aroma harapan dari setiap biji yang dipetik dengan tangan penuh cinta. Bangun brand, bikin kemasan yang kece, gandeng barista lokal buat ngasih sentuhan personal. Jangan malu tampil beda, karena di tengah dunia yang sibuk cari kopi, Sumsel bisa jadi rasa yang paling dicari.
Jadi, yuk, terus berinovasi. Biar dunia tahu, kalau pun kita gak ngopi bareng Trump, kita tetap raja di pasar kopi regional. Dan siapa tahu, besok-besok, justru Paman Sam yang antre kirim lamaran buat bisa nyicip secangkir robusta Sumsel.[***]