TULISAN ini berawal dari jawaban kritis seorang presenter yang terkenal dengan kecerdasan dan kekritisannya, yaitu Najwa Shihab yang hadir sebagai bintang tamu pada acara OVJ (19/11/19).
Dalam sebuah segmen yang dipandu oleh Denny Cagur, Najwa Shihab harus menjawab beberapa pertanyaan yang berisi dua pilihan jawaban.
Denny Cagur menanyakan sebuah pertanyaan yaitu “Pilih jurnalis atau ibu rumah tangga?”. Dengan tegas Najwa Shihab menjawab “Kenapa sih perempuan harus disuruh memilih? Bukankah kita bisa mendapatkan keduanya? Pertanyaan itu dari awal sudah menempatkan perempuan seolah-olah tak berdaya”. Jawabannya itupun membuat seisi studio bersorak, bahkan Denny Cagur tampak kebingungan memanggil-manggil kru dan bertanya bagaimana ia harus menjawab.
Jawaban Najwa Shihab sudah sangat mewakili apa yang selama ini dirasakan oleh kebanyakan perempuan di Indonesia, tidak jarang ketika sudah berumah tangga mereka diingatkan perihal “sumur, dapur dan kasur”. Langkah mereka terhenti oleh sebagian masyarakat yang tidak bisa memahami apa itu emansipasi wanita. Seharusnya tidak ada lagi batasan bagi kaum perempuan untuk berkiprah di segala bidang dan turut berkontribusi aktif membangun bangsa. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam memberikan solusi terbaik atas permasalahan bangsa.
Negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan berasal dari persoalan yang timbul dalam masyarakat sendiri yang menyebabkan eksternalitas negatif berupa ketimpangan pemberian hak pada perempuan.
Sudah seharusnya Negara hadir melalui kebijakan dan peraturan yang secara eksplisit memuat prinsip non-diskriminasi terhadap perempuan. Karena hanya Negara yang mampu mengatasi permasalahan interaksi yang meminggirkan dan menindas perempuan serta sikap diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Berdasarkan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women menyatakan bahwa penghormatan hak asasi manusia seantero jagad tidak boleh membeda-bedakan atas dasar jenis kelamin. Dengan adanya perjanjian ini menjadi sebuah kewajiban Negara untuk turut serta dalam menanggulangi diskriminasi perempuan dan mengupayakan kesetaraan gender, khususnya dalam dunia politik dan pengambilan keputusan.
Dengan turutnya perempuan dalam percaturan politik bangsa salah satunya dengan keterwakilan perempuan di parlemen, dapat menciptakan kultur pengambilan kebijakan publik yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan. Akan banyak kebijakan yang berpihak kepada perempuan dalam meningkatkan kualitas pendidikan politik bagi perempuan.
Kurniawati Hastuti Dewi dalam bukunya Indonesian Women and Local Politics menyebutkan bahwa agenda mendesak yang harus dilakukan untuk mengakhiri praktik dominasi laki-laki dalam perpolitikan nasional adalah membentuk sebuah jejaring gerakan perempuan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Hal ini menjadi penting mengingat selama ini gerakan perempuan cenderung terpecah-pecah oleh perbedaan isu dan wacana yang diangkat.
Meski representasi perempuan di ranah politik praktis sudah didorong sedemikian rupa melalui berbagai macam kebijakan, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Perlu adanya upaya yang sinergis dan berkesinambungan, dengan melibatkan pihak-pihak terkait dalam penyelenggaraan pendidikan politik yang lebih meluas dan terencana bagi perempuan.
Rendahnya keterwakilan perempuan di ranah politik juga dikarenakan masih mengakar kuatnya paradigma patriarki di sebagian besar masyarakat Indonesia. Pola pikir patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Perempuan dicitrakan sekaligus diposisikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang, termasuk politik.
Institusi politik juga pada umumnya tidak benar-benar memiliki komitmen penuh pada pemberdayaan perempuan. Pada umumnya, partai politik masih kurang yakin perempuan mampu menjadi vote getter dan menaikkan elektabilitas partai politik. Asumsi ini tentu berkaitan dengan keterbatasan perempuan dalam kapital, baik finansial maupun sosial.
Berdasarkan hasil penelitian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) menyebutkan, angka keterwakilan perempuan dalam Pemilu Legislatif 2019 meningkat. Bahkan, Pemilu tahun 2019 menghasilkan keterwakilan perempuan terbanyak sepanjang sejarah. “Terdapat 118 atau 20,5 persen dari 575 kursi DPR diduduki oleh perempuan,”. Hal ini tentunya menjadi sebuah kebanggan bagi kaum perempuan yang bisa membuktikan kehadirannya mampu menjadi tiang bagi Negara, keberadaannya diharapkan menjadi sebuah esensi demokrasi yang berkeadilan dan menjadi dorongan bagi kaum perempuan lainnya untuk turut serta menjadi pelaku politik agar dapat membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. Selain itu juga diperlukan sebuah gerakan yang dapat membangkitkan kesadaran publik akan pentingnya praktik politik berbasis keadilan gender. Persepsi publik yang mengatakan bahwa perempuan tidak cocok dengan dunia politik mutlak harus diakhiri. Karena perempuan juga mampu memegang tampuk kepemimpinan di Negara ini.[***]
Siti Anisyah, M.Si
Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Raden Fatah Palembang