Kesehatan

Benarkah AI Bisa Mendiagnosis Mentalmu? Kok Banyak yang Percaya?

ist

AI Jadi Dokter Dadakan, Kita Jadi Pasien Khayalan

BELAKANGAN ini, jagat media sosial riuh rendah oleh unggahan anak muda yang memamerkan diagnosis AI. Ada yang bilang “AI bilang aku introvert tipe 4B” ada pula yang bilang “AI bilang aku burnout level naga api”.

Entah sejak kapan AI bisa membagi manusia ke dalam jenis yang mirip paket mie instan.

Fenomena ini kocak, tapi juga bikin dokter geleng-geleng kepala, karena ketika hasil AI diperlakukan seperti hasil laboratorium, kita sedang masuk dunia fantasi… tapi lupa keluar lagi.

Sekilas, memang enak curhat ke AI.
Selalu online, nggak nyinyir, nggak bilang “lah kok, gitu aja baper”, dan jawabannya selalu sopan.

Masalahnya, AI hanya membaca teks bukan isi hati.
Ibaratnya, menitipkan rahasia di laci yang pintunya selalu terbuka.

Psikiater FKUI–RSCM dr. Kristiana Siste dalam rilis resmi dilaman Menkes sudah mengingatkan diagnosis mental yang diberikan AI sering salah, berlebihan, atau salah konteks, bahaya bukan salahnya, tetapi orang yang mempercayainya 100%.

Itu seperti melihat ramalan zodiak, terus langsung resign karena merasa “ini pertanda semesta”. Gaya boleh, tapi logika jangan ikut cuti.

Coba, misalnya  kamu punya teman yang jawab semua pertanyaan dengan yakin walau kadang ngawur.

Nah, AI itu mirip begitu rajin, cepat, tapi belum tentu tepat.

Pepatah bilang “Air tenang jangan disangka tak berbahaya, tapi air galon pun jangan dikira bisa ngeluarin nasihat bijak”

Oleh karena itu, AI itu alat, bukan makhluk gaib, bisa membantu, tapi bukan dukun digital.

Bahkan yang lebih lucu adalah ketika diagnosis AI dipamerkan di media sosial.

Tiba-tiba lahir ratusan psikolog karbitan di kolom komentar

“Coba meditasi”, “Coba journaling”, dan “Coba detox digital 7 hari”.

Padahal yang komen juga baru mengenal istilah “burnout” dari reels motivasi tiga hari lalu.

Seperti kata pepatah dari pos ronda kampung ku. “Salah informasi itu bisa lebih pedas daripada sambal level 15”.

Lebih bahaya lagi, ketika salah diagnosis diikuti self-treatment asal-asalan, kondisinya bisa makin runyam.

Kalau hatimu sedang remuk, AI boleh membantu memahami arah pikiran.

Tapi yang menyembuhkan tetap manusia ahli, keluarga, atau setidaknya teman nyata.

Oleh sebab itu, gunakanlah AI itu seperti payung dipakai saat perlu, bukan hanya untuk hidup di bawah selamanya.

Jadi memang AI itu cerdas, tapi AI bukan psikiater.

AI itu bisa cepat, tapi belum tentu tepat.

Bahkan bisa dikatakan AI itu ramah, tapi tidak memahami relung pikiran manusia.

Jadi, sebelum percaya ‘introvert 4B’ atau ‘burnout naga api’, ingatlah Kesehatan mental bukan untuk ditentukan chatbot.

Manusia tetap harus konsultasi ke profesional, ibarat kita mau minum obat yang dosis tinggi harus konsultasi ke dokter bukan ke robot yang kerjanya 24 jam tanpa gaji.[***]

Terpopuler

To Top