JIKA inflasi itu punya rasa, mungkin rasanya seperti cabai rawit di ujung lidah dan pedasnya agak lama, bikin keringat keluar meski cuaca lagi adem, begitulah kira-kira suasana dapur rumah tangga akhir-akhir ini membuat harga beras naik, daging ayam ikut terbang, cabai merah apalagi lebih cepat naik daripada sinyal internet tengah malam.
Nah, di tengah situasi perut rakyat mulai manyun, Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Selatan, H. Edward Candra, Senin (13/10/2025), ikut Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah dan Program 3 Juta Rumah, digelar daring Kemendagri, dan dipimpin langsung Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Lokasinya di Command Center Pemprov Sumsel, tempat dimana semua data berdesakan di layar, mirip warung kopi penuh kabar pagi-pagi.
Bahkan lucunya, rapat kali ini membahas dua hal yang di permukaan tampak gak nyambung, masalah inflasi pangan dan program perumahan rakyat, tapi kalau dipikir-pikir, memang keduanya sama penting, sebab hidup ini gak cukup cuma punya dapur yang ngebul tanpa ada atap buat berteduh.
Mendagri Tito menyampaikan pesan Presiden yang mengapresiasi daerah-daerah berhasil menjaga harga beras tetap waras. Katanya, operasi pasar Bulog perlu digencarkan, koordinasi dengan BPS diperkuat, jangan sampai data di meja beda jauh dengan realita di pasar.
Kepala BPS RI, Amalia Adininggar Widyasanti, menambahkan bumbu data, yakni Sumsel berada di posisi ketiga tertinggi Indeks Perkembangan Harga (IPH), naik karena harga daging ayam dan cabai merah rawit, alias, dua komoditas paling sering bikin emak-emak misuh di dapur.
Masalah inflasi ini memang rumit, tapi intinya sederhana pasalnya ketika harga pangan naik, daya beli masyarakat ikut turun, dan masyarakat mulai menghitung ulang isi dompet sebelum belanja, sehingga kenaikan harga bukan cuma soal ekonomi, tapi juga soal psikologi, misalnya orang mulai cemas, menahan konsumsi, dan pada akhirnya roda ekonomi jadi seret.
Inflasi memang bukan hanya sebagai tanggung jawab pasar, tapi juga hasil gotong royong kebijakan, mulai dari pengawasan distribusi pangan, efisiensi logistik, sampai pemberdayaan petani lokal agar rantai pasok tak selalu bergantung pada daerah lain.
Bahkan, jika dibiarkan, inflasi bisa jadi seperti api kecil di dapur, karena awalnya cuma menghangatkan, namun lama-lama bisa membakar periuk, ibarat pepatah, “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit”, sayangnya, kalau yang naik harga bukan tabungan, tapi cabe dan ayam, ya… bukitnya jadi beban.
Rakor seperti ini penting, tapi jangan berhenti di layar laptop, data yang indah di PowerPoint tak akan bikin harga cabe turun di pasar. Pemerintah daerah perlu turun menjejak tanah memastikan jalur distribusi lancar, petani tidak rugi, dan stok Bulog benar-benar sampai ke dapur rakyat, bukan berhenti di gudang.
Belajar
Pemprov Sumsel sudah punya modal kuat, antara lain koordinasi cepat lewat Command Center, sinergi dengan Bulog, dan pemantauan harga harian, tinggal diperkuat di bagian respon cepat di lapangan, karena yang dihadapi bukan sekadar inflasi, tapi juga rasa panik masyarakat.
Selain urusan dapur, rapat juga membahas Program 3 Juta Rumah, pemerintah pusat menekankan agar daerah aktif melaporkan progres dan kendala, ini penting, karena rumah bukan cuma bangunan, tapi simbol kestabilan keluarga.
Kalau inflasi bikin dapur sulit ngebul, backlog perumahan bikin rakyat kesulitan punya atap sendiri, maka wajarlah kalau dua isu ini dibahas sekaligus karena rakyat butuh kenyang dan tenang.
Kepala Dinas Perkim Sumsel, Novian Aswardani, dan Kepala Biro Perekonomian Setda Sumsel, Henky Putrawan, ikut mendampingi Sekda dalam rapat, artinya, Pemprov Sumsel menaruh perhatian serius bukan hanya pada laporan, tapi juga langkah nyata ke depan.
Solusinya tak harus rumit, pertama, harus memperkuat kerjasama lintas instansi dan kabupaten/kota untuk memastikan operasi pasar berjalan berkesinambungan. Kedua, memperpendek rantai pasok agar harga tak melonjak di tengah jalan. Ketiga, memberdayakan petani dan peternak lokal, karena ketahanan pangan sejatinya lahir dari tanah sendiri.
Untuk program perumahan, penting agar Pemprov memastikan akses kredit perumahan rakyat lebih inklusif, terutama bagi pekerja informal yang selama ini sulit mengakses KPR. Rumah rakyat jangan cuma jadi program, tapi jadi kenyataan yang bisa disentuh.
Oleh sebab itu, rapat demi rapat boleh saja digelar, data boleh naik-turun setiap bulan, tapi ujungnya selalu sama, yakni rakyat menunggu perubahan nyata, pasalnya angka inflasi di layar belum tentu sama dengan pedasnya harga di pasar.
Dari sinilah, Sumsel bisa belajar satu hal, yaitu menjaga kestabilan harga dan perumahan rakyat bukan sekadar program teknis, tapi ibadah sosial. Pemerintah yang sigap menstabilkan harga sama nilainya dengan pedagang yang jujur menimbang beras, dua-duanya menjaga keseimbangan kehidupan. Semoga, dari ruang Command Center yang dingin itu, lahir kebijakan yang hangat sehangat nasi di meja rakyat.[***]