ASAP masih tercium samar di udara, puing-puing kayu hangus berserakan di tanah, berdiri bagai saksi bisu atas ganasnya api yang beberapa hari lalu melalap habis puluhan rumah di Kelurahan 3–4 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, serta Kelurahan 35 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II. Di balik reruntuhan itu, suara tangis anak kecil kadang terdengar, berpadu dengan bisik doa dari warga yang masih berusaha tegar menatap masa depan.
Bagi sebagian besar korban, kehilangan ini bukan sekadar rumah, karena tempat mereka menaruh kenangan, membesarkan anak, hingga menyimpan harapan.
Kini semuanya hanya tinggal abu. “Saya cuma sempat selamatkan baju di badan,” ucap seorang ibu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya menggenggam erat anak balitanya, seolah tak ingin lagi kehilangan apa pun. Trauma masih melekat, dan bayangan api yang melahap rumah terus menghantui.
Namun di balik kesedihan itu, hadir pula cahaya kecil yang memberi penguatan kemarin, Ketua Kwartir Cabang (Ka Kwarcab) Palembang, Putri Azizah Prima Salam, datang menyapa para korban. Dengan langkah perlahan ia masuk ke tenda darurat, duduk bersila di antara warga, mendengarkan keluh kesah mereka tanpa sekat. Tak ada jarak antara seorang pejabat dengan rakyatnya yang ada hanyalah empati.
“Bapak, Ibu, anak-anak, tolong tetap tabah. InsyaAllah akan ada jalan keluar, kami hadir untuk menguatkan, untuk menunjukkan bahwa kalian tidak sendirian,” ucapnya, menatap penuh iba wajah-wajah yang masih muram.
Kedatangannya bukan sekadar membawa bantuan berupa beras, air mineral, mie instan, hingga kebutuhan pokok lain. Lebih dari itu, ia membawa harapan. Membawa keyakinan bahwa masih ada orang-orang yang peduli, masih ada tangan yang ingin bergandeng untuk meringankan beban.
Kebakaran bukan sekadar menghanguskan dinding kayu atau perabot rumah tangga. Ia juga menyisakan luka batin, anak-anak yang seharusnya berlari riang di halaman kini takut melihat api. Orang tua yang seharusnya sibuk menyiapkan sarapan kini hanya bisa termenung, memikirkan bagaimana membangun kembali kehidupan dari nol.
“Bukan hanya harta benda yang hilang, hati kami juga ikut terbakar, tapi ketika ada yang peduli, setidaknya kami merasa masih ada harapan,” kata seorang bapak sambil menatap tumpukan barang sisa yang ia selamatkan, sebuah kompor tua, dan sebuah bingkai foto keluarga yang gosong di pinggirnya.
Pesan itu sejalan dengan apa yang disampaikan Putri Azizah. “Musibah kebakaran ini memang berat, tapi jangan pernah merasa sendiri. Kami semua hadir bersama bapak-ibu untuk bangkit lagi. Kita akan saling menguatkan,” ujarnya.
Di balik kesedihan, musibah ini juga menunjukkan satu hal: gotong royong masih menjadi kekuatan masyarakat Palembang. Tetangga yang rumahnya selamat membuka pintu bagi korban. Kerabat yang jauh datang memberi pakaian bekas layak pakai, organisasi, komunitas, dan relawan bergerak tanpa menunggu instruksi, semua tergerak oleh rasa kemanusiaan.
Putri Azizah menegaskan, kepedulian ini adalah inti dari kehidupan bermasyarakat. “Kalau satu jatuh, yang lain harus membantu berdiri. Itulah arti gotong royong. Itulah kekuatan kita,” katanya.
Suasana yang awalnya muram perlahan berubah menjadi sedikit hangat, ada tawa kecil dari anak-anak ketika menerima bingkisan makanan. Ada senyum samar dari seorang nenek saat tangannya digenggam erat oleh relawan, kehadiran orang-orang yang peduli membuat mereka percaya, bahwa duka ini tak akan mereka hadapi sendirian.
Musibah selalu datang tanpa permisi, tak seorang pun tahu kapan api bisa melahap rumah atau banjir bisa merendam pemukiman. Namun setiap musibah selalu menyimpan pelajaran.
Dari abu yang tersisa, warga belajar arti ketabahan, dari rasa kehilangan, mereka belajar mensyukuri yang masih tersisa, nyawa, keluarga, dan ikatan satu sama lain.
Kunjungan Ka Kwarcab bukan hanya seremonial, melainkan simbol dari pesan moral yang lebih besar bahwa dalam kehidupan, seberat apa pun cobaan, manusia butuh saling menguatkan, sebab tidak ada yang lebih menenangkan hati selain tahu bahwa kita tidak sendirian.
Senja mulai turun di langit Palembang, sisa-sisa cahaya matahari memantul di genangan air bekas pemadaman. Di tenda darurat, warga mulai menata kembali apa yang bisa ditata. Hidup memang tidak akan kembali sama seperti semula, tapi semangat perlahan bangkit.
Seorang anak kecil berlari sambil membawa sebungkus roti dari bantuan yang diterima. Ia tersenyum-senyum polos yang menjadi pengingat, bahwa harapan tidak boleh padam bahwa dari abu sekalipun, kehidupan bisa tumbuh kembali.
Musibah ini meninggalkan luka, tapi juga menumbuhkan solidaritas, dari sinilah, warga Palembang bisa belajar gotong royong bukan sekadar kata, melainkan kekuatan nyata.
Seperti yang diucapkan Putri Azizah dengan penuh keyakinan, “InsyaAllah selalu ada jalan keluar. Selalu ada cahaya, bahkan di tengah abu sekalipun”.
Kebakaran boleh saja melahap rumah dan harta benda, tapi tidak akan pernah bisa memadamkan semangat untuk bangkit kembali karena selama masih ada kepedulian, harapan akan selalu menyala.[***]